Anggota PKI diburu. Mereka seolah wajib ditumpas, bahkan saat itu muncul anggapan membunuh mereka adalah jihad. Sebuah rekam kekejaman peristiwa 1965.
Aksaraintimes.id – Berita mengenai kematian tujuh jenderal Angkatan Darat merebak hingga ke pelosok daerah pada awal Oktober 1965. Berita itu disebarluaskan Angkatan Darat bersamaan dengan tuduhan secara langsung kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai otak pembunuhan.
Dalam sekejap, sentimen anti PKI menjangkiti masyarakat. Sejumah kelompok masyarakat kemudian membentuk barisan anti PKI. Untuk kelompok mahasiswa, mereka membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Jakarta beberapa hari setelah peristiwa. Pembentukan ini disusul mahasiswa Makassar, pada bulan yang sama, dengan membentuk KAMI konsulat Sulawesi Selatan.
Di bulan-bulan setelah terbentuknya kesatuan itu, anggota PKI dan simpatisannya di seluruh Indonesia diburu, ditangkap dan dibunuh. Jutaan orang mati saat peristiwa meletus. Sebuah rekam kelam pembantaian besar-besaran di Indonesia tahun 1965-66.
Dipelopori Tentara, Dibentuk Mahasiswa
Di awal-awal Oktober, kabar mengenai kematian tujuh jenderal masih simpang siur di Makassar. Sejumlah kelompok masih ragu-ragu dalam menentukan sikap, apakah mendukung Soekarno atau militer. Namun kondisi Makassar terasa mulai mencekam, kelompok PKI dan anti PKI mulai berkumpul dan berjaga di markas masing-masing.
Anwar Arifin dalam bukunya Pers dan Dinamika Politik [Yarsif Watampone: 2009] menuliskan, keraguan bagi kelompok anti PKI ini pudar setelah kedatangan Brigjen Syarif Tayib, selaku Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, yang khusus datang ke Makassar untuk menjelaskan perkembangan situasi politik di Indonesia.
Syarif memanggil beberapa tokoh organisasi mahasiswa dan menyarankan mereka untuk tidak bergerak sendiri dalam menghadapi PKI. Mahasiswa kemudian diminta untuk membentuk gerakan terpadu yakni KAMI konsulat Sulawesi Selatan.
Rapiuddin Hamarung, yang saat itu menjabat sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar, diangkat menjadi ketua presidium. Sementara Jusuf Kalla diangkat menjadi sekretaris jenderal (Sekjen).
Namun posisi Rapiuddin tak berlangsung lama, Kalla kemudian menggantikan Rapiuddin sebagai ketua pada tahun 1966, sementara untuk sekjen diangkat Alwi Hamu. Pada masa awal pembentukan KAMI, rumah Kalla di Jalan Andalas No. 2 rutin dijadikan sebagai tempat pertemuan.
KAMI sendiri terdiri dari banyak organisasi mahasiswa. Setidaknya ada empat kelompok Islam bergabung dengan KAMI yakni HMI, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), SEMMI (Serikat Mahasiswa Islam Indonesia), dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).
Sementara organisasi intenal kampus yang juga turut berpartsipasi yakni Dema Universitas Hasanuddin, Dema IKIP, Dema UMI, dan Dema UVRI. Selain itu, ada juga Mapancas (Mahasiswa Pancasila), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI), dan GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia).
Kata Arifin, dari semua organisasi yang terlibat, KAMI didominasi mahasiswa-mahasiswa dari HMI. Pun Rapiuddin dan Kalla termasuk mahasiswa yang tergabung dalam HMI.
Ia mengatakan, dengan terbentuknya KAMI, organisasi-organisasi mahasiswa yang sebelumnya mendapat tekanan dari GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia), dapat kesempatan melakukan "tekanan balik".
"KAMI yang didominasi tokoh HMI dan organisasi mahasiswa dari kalangan Islam dan didukung oleh mahasiswa dari kalangan Kristen dan Katolik mengarahkan gerakannya kepada PKI, PNI, GMNI, dan CGMI serta kepada kelompok aliran politik komunis dan aliran politik nasionalisme radikal dan pendukungnya," tulis Arifin [hal 154].
Pengganyangan PKI dan Sentimen Rasial
Taufik, dalam bukunya Kamp Pengasingan Moncongloe [Desantara: 2009] mengatakan, setelah KAMI terbentuk, dengan segera kesatuan ini mengkonsolidasikan diri untuk terlibat dalam pengganyangan PKI dan simpatisannya. Pada 15 Oktober 1965, diadakan rapat akbar di Lapangan Karebosi, Makassar yang dihadiri 22 organisasi anti PKI termasuk KAMI. Hasilnya: mereka menuntut pembubaran PKI.
Di hari yang sama pula, KAMI, KAPPI, dan Pemuda Ansor lantas menyerbu sel penahanan Komtambes Makassar. Penyerbuan itu dilakukan sebab beberapa hari sebelumnya, sel penahanan Komtambes menjadi tempat mengamankan diri bagi para anggota PKI dan simpatisannya dari serbuan massa.
Anggota PKI dan simpatisannya saat itu mesti bersembunyi karena takut akan dikeroyok dan dibunuh oleh massa anti PKI yang terus-terusan mengejar mereka. Kebencian terhadap PKI terus menguat di masyarakat sejak kabar kematian tujuh jenderal diberitakan berulang-ulang, terutama oleh media Angkatan Darat.
Saat penyerbuan itu, massa memaksakan untuk masuk dalam sel-sel tahanan. Mereka mencari anggota PKI dan simpatisannya yang sedang bersembunyi. Karena sipir penjaga sedikit, massa kemudian berhasil menerobos masuk, namun para anggota PKI dan simpatisannya sudah lari lebih dulu. Mereka berpencar dan bersembunyi di perumahan warga, tak jauh dari lokasi tahanan.
Selanjutnya, KAMI Sulsel juga terlibat dalam aksi Tritura, sebuah tuntutan yang dicetuskan mahasiswa Universitas Indonesia pada 10 Januari 1966 berisi permintaan pembubaran PKI, turunkan harga, dan bubarkan kabinet 100 menteri.
Kata Taufik, isu anti PKI kemudian merembes menjadi sentimen rasial kepada warga etnis Tionghoa dan Jawa. Ada anggapan berkembang di Sulsel, bahwa Cina dan Jawa identik dengan PKI. Mereka dituduh sebagai mata-mata dan penyokong PKI. Toko, gudang, dan rumah mereka dihancurkan dan dijarah. Kebencian terhadap etnis ini hingga memunculkan anggapan bahwa memburu PKI, etnis Tionghoa, dan Jawa merupakan jihad.
"Para demonstran tidak semata melihat anggapan keterlibatan PKI dan G30S, tetapi berkembang menjadi isu agama bahwa PKI anti agama sehingga perang terhadap PKI adalah jihad. Kemudian berkembang lagi sebuah asumsi bahwa orang-orang Jawa dan Tionghoa adalah anggota PKI yang wajib ditumpas," tulis Taufik dalam bukunya [hal. 112].
Di akhir Januari 1966, KAMI menyerbu kantor konsulat Cina di Jalan Chairil Anwar. Dalam serbuan itu, massa melakukan pengrusakan barang-barang kantor, merampas bendera nasioanal dan lambang negara, merusak gambar Mao Zedong, menghancurkan mobil, serta menuliskan ancaman di tembok dengan tulisan 'basmi', dan 'ganyang habis konsulat RRT'. Setelah diambil alih, kantor konsulat ini kemudian dijadikan sebagai markas KAMI.
Tak hanya itu, rumah warga Tionghoa di Jalan Bonto Lempangan turut dirampas KAMI. Dilansir dari inilah.com, Kalla menceritakan saat ia dan kawan-kawannya mengambil rumah warga Tionghoa tersebut. Dikatakan, rumah itu adalah milik dua keluarga orang Cina.
Sekitar 50-an anggota KAMI menggeruduk rumah itu pada malam hari. Sang pemilik rumah, kata Kalla, secara "sukarela" menyerahkan rumah mereka kepada KAMI. Kini, rumah yang dirampas dari warga etnis Cina itu dijadikan sekretariat HMI cabang Makassar.
Pembunuhan dan Tahanan Politik
Sejumlah laporan mencatat anggota PKI dan simpatisannya dibunuh di Sulawesi Selatan saat meletusnya peristiwa G30S. Masih dari Taufik, pada Minggu pertama Oktober 1965, Dr. Soenaro, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin tewas dikeroyok massa karena dituding menyokong PKI.
Beralih ke daerah, di Bantaeng Ketua DPC PKI, M. Ali Yusuf dibunuh massa anti PKI yang diorganisir Muhammadiyah. Saat itu, ia sudah ditahan di dalam sel penjara. Namun massa yang marah memaksa pihak keamanan untuk mengeluarkan Yusuf. Ia pun dibunuh di depan masjid Raya Bantaeng.
Pembunuhan sadis menyusul setelahnya. Korbannya Abdul Syukur, ketua buruh, ia dibunuh saat berada di pasar oleh massa sampai seluruh tubuhnya dicincang dengan senjata tajam. Ada juga Amran, Ketua Pemuda Rakyat, ia dibunuh justru saat berada di dalam sel kepolisian Bantaeng oleh kelompok Pemuda Ansor.
Pembantaian besar-besaran terjadi di Kabupaten Bone. Kebanyakan mereka yang dibunuh adalah etnis Jawa yang didatangkan untuk bekerja sebagai buruh pabrik. Saat itu, ratusan dari mereka berada di Penjara Watampone, namun saat sentimen anti PKI semakin memanas, mereka kemudian dibunuh. Para korban dikubur secara massal di sebuah sumur di Kampung Colodo.
Kata Taufik, secara keseluruhan orang yang dibunuh di Bone mencapai ribuan, namun yang tercatat hanya sekitar 350 orang. Bahkan, lanjut Taufik, ada indikasi pembunuhan di Bone termasuk salah satu yang terbesar ketiga setelah Jawa dan Aceh.
Sementara bagi anggota PKI dan simpatisannya yang sedikit beruntung, mereka "hanya" ditangkap dan ditahan dalam kamp pengasingan Moncongloe, Maros. Sebuah kamp konsentrasi yang dibangun tahun 1969 khusus untuk menampung anggota PKI dan simpatasinya. Terdapat 911 tahanan politik di kamp itu. Kebanyakan dari mereka baru dibebaskan di tahun 1979-80.
Penulis: Amri N. Haruna
Editor: Dian Kartika
Sumber : https://aksaraintimes.id/rekam-kelam-kami-sulsel-penjagal-pki-semasa-peristiwa-pembantaian-1965/
Makassar.Online Kumpulan berita terkini harian Makassar dan Sekitarnya terbaru dan terlengkap dari berbagai sumber terpercaya baik media massa terkemuka di Indonesia maupun akun sosmed yang memiliki integritas dalam menyajikan berita keadaan di Makassar.
Sosmed Kami