Makassar, IDN Times - Josias Cornelis Rappard (1824-1898) punya tempat tersendiri dalam sejarah Indonesia di zaman kolonial. Datang ke Batavia sebagai prajurit tentara Kerajaan Belanda, KNIL, siapa sangka kewajiban mempelajari seni gambar menjadi minat paling besarnya.
Seiring waktu, Rappard mulai tertarik menekuni seni lukis rumit bernama litografi. Lewat karya-karyanya, masyarakat Belanda dan Eropa punya gambaran jelas perihal eksotisme Tanah Hindia. Mulai dari budaya, keseharian masyarakat, lanskap bentang alam dan bangunan di sejumlah kota.
Sebelum pulang kampung bersama istri dan pensiun dengan pangkat kolonel, Rappard masih menyempatkan diri datang ke Makassar dan Kepulauan Maluku. Berikut ini beberapa karya litografinya saat mendatangi kedua tempat tersebut.
Baca Juga: 4 Warung Kopi Tertua di Kota Makassar yang Sarat Nilai Historis
1. Aktivitas di pelabuhan Makassar dan Passarstraat
Menyambangi Makassar, belum lengkap jika tak menengok daerah pelabuhan. Dari sinilah pemerintah Hindia-Belanda mengirim komoditas kopi, kopra, beras, teripang, kain dan masih banyak lagi.
Gambar di atas adalah suasana daerah Passarstraat atau kini dikenal sebagai Jalan Nusantara. Tempat kapal-kapal dagang dan penumpang bersandar pada abad ke-19 telah berubah menjadi area Terminal Peti Kemas.
Selain itu, tak ada lagi bangunan-bangunan tua di bagian kanan jalan. Semuanya berganti menjadi ruko-ruko dan penginapan.
2. Pemandangan Benteng Fort Rotterdam dari sebelah tenggara
Sebelum jadi museum, Benteng Fort Rotterdam adalah pusat perdagangan, gudang hasil rempah-rempah sekaligus pusat pemerintahan Hindia-Belanda di bagian timur. Selain itu, tersedia pula beberapa sel untuk tawanan perang. Masuk abad ke-20, giliran KNIL yang membuka pusat administrasi di tempat tersebut.
Rappard melukisnya dari bagian tenggara, atau yang kini merupakan Jalan Riburane dan Jalan Ahmad Yani. Tak ada lagi area hijau di sekeliling tembok benteng, ataupun tugu putih seperti yang terlihat dalam gambar.
3. Kompleks pemakaman Lajangiru di daerah Bontoala
Saat di Makassar, Rappard menyempatkan diri melukis suasana kompleks pemakaman Lajangiru. Menurut riwayat, Lajangiru adalah nama tuan tanah pada zaman Hindia-Belanda yang mewakafkan tanah miliknya sebagai pemakaman para penyebar Islam asal Timur Tengah.
Ada lima makam di area tersebut yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Habib Hasan, Habib Muhsin, Habib Assegaf, Habib Ali Sihab dan Habib Adam Muri.
Berada di Jalan Kandea, Kelurahan Bontoala, kompleks pemakaman Lajangiru kini dikepung oleh pemukiman penduduk. Perkembangan pesat Makassar membuat pepohonan dan hutan di sekelilingnya, seperti pada litograf, hilang tak bersisa.
4. Istana Balla Lompoa, pusat pemerintahan Kerajaan Gowa
Pasca Perjanjingan Bongaya 1667, supremasi Kerajaan Gowa sebagai penguasa maritim di timur pun dilucuti. Sejak saat itu, semua raja yang hendak memimpin pun harus mendapat "restu" dari Gubernur Jenderal dan pemangku kebijakan Hindia-Belanda.
Kendati demikian, Gowa masih memiliki wilayah kekuasaannya. Raja Gowa pun masih tinggal dan menjalankan pemerintahan di Istana Balla Lompoa (yang secara harfiah berarti "rumah besar").
Saat Rappard berkunjung, penguasa saat itu adalah Sultan Abdul Kadir Mohammad Aidid, Raja Gowa ke-32 yang memerintah dari 1826 hingga 1893. Kini Balla Lompoa berfungsi menjadi museum peninggalan benda-benda bersejarah.
5. Pesona air terjun Bantimurung pada akhir abad ke-19
Pesona air terjun Bantimurung dan pegunungan karstnya pertama kali dikabarkan ke seluruh dunia oleh naturalis ternama asal Britania Raya, Alfred Russel Wallace. Dalam buku The Malay Archipelago, Wallace menulis bahwa ia menyambangi tempat ini pada kunjungan ke Makassar untuk kali kedua yakni antara Juli hingga November 1857.
Dua dekade setelah kunjungan Wallace, giliran Rappard bersama alat gambarnya yang datang untuk mengabadikan kecantikan Bantimurung.
Sekarang, area air terjun tersebut menjadi destinasi wisata andalan Kabupaten Maros dan masuk dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung.
6. Pemukiman di pesisir Pulau Ternate dan Gunung Gamalama
Bersama Tidore, Ternate merupakan pusat penghasil rempah-rempah komoditas seperti pala, lada dan cengkeh. Itu pula yang menjadi daya tarik bagi para pedagang yang datang dari Jawa, Melayu, Arab dan Tiongkok.
Masuk abad ke-15, sejumlah kerajaan dan kongsi dagang Eropa memperebutkan tempat ini. Mulai dari Portugis, Spanyol, VOC dan EIC. Namun Kompeni-lah yang berhasil menguasai Ternate. Saat Kerajaan Belanda mengambil alih VOC pada 1800, Ternate menjadi bagian dari wilayah kolonial.
Rappard mengabadikan suasana pesisir Pulau Ternate dari laut, lengkap bersama pemukiman penduduk dan Gunung Gamalama.
7. Banda Neira dan Banda Api, bagian dari Kepulauan Banda
Sama seperti Ternate dan Tidore, citra Banda Neira juga lekat dengan rempah-rempah. Dari abad ke-16 hingga ke-17, tempat ini juga jadi rebutan tiga kekuatan Eropa: Spanyol, Portugis dan Inggris. Namun VOC dan Belanda lah yang berhasil mendapat monopoli perdagangan penuh.
Rappard mengabadikan pemandangan Banda Neira (kiri) dan Gunung Banda (kanan) saat kapal yang membawanya melewati dua pulau tersebut. Ia pun turut melukis dua benteng peninggalan VOC yakni Fort Belgica dan Fort Nassau.
Berselang lima puluh tahun usai kunjungan Rappard, Banda Neira difungsikan sebagai tempat pembuangan sejumlah tokoh kemerdekaan. Seperti Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Cipto Mangunkusumo serra Iwa Kusuma Sumantri.
Baca Juga: Bernilai Sejarah, 7 Potret Landmark Kota Makassar Dahulu vs Sekarang
Sumber : https://sulsel.idntimes.com/life/education/ahmad-hidayat-alsair/melihat-makassar-dan-maluku-tempo-dulu-dari-litograf-rappard
Makassar.Online Kumpulan berita terkini harian Makassar dan Sekitarnya terbaru dan terlengkap dari berbagai sumber terpercaya baik media massa terkemuka di Indonesia maupun akun sosmed yang memiliki integritas dalam menyajikan berita keadaan di Makassar.
Sosmed Kami