Oleh Yoval Noah Harari Penulis Buku Sapiens
Terjemahan oleh Zulkifli M
Artikel ini menarik sebagai refleksi gagasan keagamaan dan nalar saintifik kita dalam menghadapi pendemi virus corona. Keduanya merupakan perangkat penting yang tak bisa salah satunya ditinggalkan di tengah-tengah jahatnya virus pembunuh ini membantai habis peradaban kita. Di sisi lain setelah terbitnya Homo Deus yang tiba-tiba terkoneksi dengan wabah yang kita alami ini. Artikel-artikel Yuval mengemuka di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Sebab, penulis dikenal saat ini sebagai sejarawan wabah.Oleh karena itu, penerjemah berusaha mendekatkan penggemar Yuval di Indonesia yang kiranya masih kesulitan memahami bahasa asing.
DUNIA ERA MODERN dijalin sedemikian rupa dengan susah payah oleh satu keyakinan bahwa manusia mampu mengakali sekaligus men-cundangi kematiannya sendiri. Dulu keyakinan ini dianggap sebagai buah pemikiran canggih dan revolusioner. Yang demikian ini revolusioner karena banyak sejarah bertutur bahwa sebelumnya manusia secara taklik menerima takdir kematian.
Seiring waktu berjalan di akhir abad modern, kebanyakan agama dan ideologi memandang kematian tidak lagi sebagai garis tangan tapi sebagai sumber utama dalam menuntun arti kehidupan. Ada kesadaran yang mencuat bahwa peristiwa-peristiwa paling penting dalam eksistensi manusia sesungguhnya terjadi sesaat setelah anda menghembuskan napas terakhir. Bagaimana tidak, hanya di momen itu kau memiliki kesempatan mempelajari segala rahasia kehidupan. Di kesempatan itu pula, kau meraih keberkahan abadi, atau sebaliknya menerima balasan kutukan yang tiada akhir. Sedangkan menurut pemikiran modern yang meniadakan kematian–dan pastinya tanpa surga, neraka, dan reinkarnasi–bagi agama-agama seperti Kristen, Islam dan Hindu ini tak masuk akal. Sebab sejarah membuktikan buah-buah pikiran manusia terluhur ada pada kesibukan dirinya mengeja nilai dibalik kematian, bukan menaklukkannya.
Kisah epos Gilgames, mitos Orpheus dan Eurydice, Bibel, Alquran, Weda dan kitab-kitab suci dan kisah-kisah lain yang tak terhitung jumlahnya itu dengan tabahnya menuntun manusia yang sukar menerima bahwa kita mati karena Tuhan menentukannya, atau Kosmik, atau Sang Ibu Alam, sedangkan kita sebagai hamba harus menerima semua itu dengan pasrah dan khsyuk. Dengan harapan, suatu hari nanti Tuhan akan melenyapkan kematian melalui isyarat metafisik yang maha dahsyat seperti kebangkitan kedua Sang Kristus.
Sayangnya, apabila diminta menghalau berbagai macam bencana, masa iya imbalannya cuma darah dan daging saja.
Maka datanglah revolusi sains. Bagi saintis kematian bukanlah peristiwa ilahiyah–ia tak lain merupakan problem teknis. Manusia mati bukan karena Tuhan yang memintanya, tapi karena ada beberapa kekeliruan teknis, entah itu jantung yang berhenti memompa, kanker yang telah menyerang hati, atau virus yang berkembang biak di paru-paru. Lalu apa yang membuatnya menjadi seperti itu? Jawabannya adalah problem-problem teknis yang lain. Jantung berhenti memompa karena otot jantung kekurangan oksigen. Sel kanker menyebar di liver disebabkan kemungkinan oleh mutasi genetik. Virus-virus itu bercokol di paru-paru saya karena seseorang bersin di bis yang kutumpangi. Tak ada sedikitpun peristiwa metafisika.
Lalu sains juga yakin bahwa setiap problem teknis memiliki solusi teknisnya masing-masing. Dengan begitu kita tak perlu menunggu masa kebangkitan Kristus yang kedua untuk mengobati kematian itu. Sepasang ilmuwan di lab sanggup melakukannya.
Dahulu secara tradisional kematian merupakan spesialisasi para pendeta dan teolog dengan jubah hitamnya, saat ini spesialisnya mengenakan jubah lab berwarna putih. Jika tiba-tiba jantung berdebar kencang, mereka menggunakan alat pacu jantung untuk memicunya atau mungkin melakukan transpalansi jantung baru. Jika kanker menyerang, kita bisa membunuhnya dengan gelombang radiasi. Jika virusnya berkembang cepat di dalam paru-paru, kita bisa menghambat perkembangannya dengan meminum obat.
Memang benar, di masa sekarang ini kita tidak bisa menyelesaikan semua problem-problem teknis. Walaupun begitu, kita tengah berupaya mengerjakannya. Pikiran-pikiran terbaik manusia bukan lagi tentang mencoba memberi makna pada kematian. Namun sebaliknya, mereka menguras pikiran untuk menunda kematian. Mereka menelusuri sistem genetik, psikologis, dan mikrobiologis yang bertanggungjawab mengundang penyakit dan penuaan, serta mengembangkan obat-obatan baru dan sistem pengobatan yang revolusioner.
Dalam usaha menunda kematian, manusia sudah menemukan hasilnya. Selama dua abad ini, harapan hidup melonjak dari di bawah angka 40 tahun ke angka 72 tahun di seluruh dunia, dan di beberapa negara maju melebihi angka 80 tahun. Anak-anak khususnya telah terbebas dari jeratan kematian. Sampai di abad 20, setidaknya satu dari tiga anak tidak sempat merasakan usia dewasa. Karena kedatangannya rutin, bocah-bocah ini menyerah menghadapi penyakit disentri campak dan cacar. Di Inggris abad ke-17, sekitar 150 dari 1.000 angka kelahiran bayi meninggal di tahun pertama mereka, dan hanya 700 diantaranya yang mencapai usia 15 tahun. Saat ini hanya ada lima dari 1.000 kelahiran bayi yang meninggal di tahun pertama mereka, dan 993 lainnya dapat merayakan ulang tahunnya yang ke-15. Di dunia secara keseluruhan, angka kematian anak turun di bawah 5%.
Manusia telah menunjukkan kesuksesannya dalam upaya melindungi dan memperpanjang kehidupan yang mengubah pandangan dunia secara mendalam. Saat agama-agama tradisional memandang akhirat sebagai sumber dari nilai, dari abad ke-18 ideologi-ideologi seperti liberalism, sosialisme, dan feminisme kehilangan ketertarikannya pada alam kematian. Serangan agama menyentuh telak melalui pertanyaan-pertanyaan yang ontologis, apa, tepatnya, yang terjadi pada seorang komunis setelah ia mati? Bagaimana akhirat seorang kapitalis? Balasan macam apa yang diganjar bagi nyawa seorang feminis? Tak ada untungnya mencari jawaban pertanyaan itu di dalam karya-karya seorang Karl Marx, Adam Smith, atau Simone de Beauvoir.
Satu-satunya ideologi modern yang masih mengagungkan kematian bahkan memiliki peran sentral di dunia ini adalah nasionalisme. Di momentum-momentum yang dramatis dan putus asa, nasionalisme menjanjikan bahwa kepada siapa saja yang merelakan nyawanya demi negara akan selamanya hidup di dalam ingatan kolektifnya. Namun janji ini juga kesannya masih absurd. Bahkan seorang nasionalis sekalipun tidak pernah tahu mau dia apakan capaiannya itu. Apa nikmatnya hidup di dalam ingatan? Lagipula jika kau mati (demi negara) bagaimana kau tahu orang-orang akan mengenangmu? Seorang aktor berbakat yang mengantongi banyak piala Oscar Woody Allen, ketika ditanyai apakah dia berharap selamanya hidup dalam ingatan pecinta film di segala zaman, menjawab "Sepertinya saya lebih memilih tidur enak di apartemen." Berbeda dari nasionalisme, banyak agama-agama yang bertahan ribuan tahun, hari ini, tak lagi menitik-beratkan gagasannya pada kuliah surga-neraka, tetapi pada kontribusi pemeluknya untuk menjaga kehidupan.
Berbicara tentang kematian, apakah wabah yang hari ini kita alami akan mengubah sudut pandang manusia terhadap kematian? Mungkin saja tidak, atau justru sebaliknya. Covid-19 mungkin akan menyebabkan kita meningkatkan upaya kita untuk melindungi kelestarian hidup umat manusia. Sebab, reaksi kultural dominan terhadap Covid-19 tidak menunjukkan sikap yang psimistik, tetapi semacam reaksi yang menggabungkan kemarahan dan harapan.
Ketika wabah meledak di era masyarakat pra-modern seperti yang terjadi di Eropa era pertengahan, masyarakat tentunya mencemaskan nyawa mereka melayang, dan sanak saudaranya tewas; namun, dapat dibayangkan reaksi kultural yang terjadi adalah keputus-asaan. Psikolog mungkin menyebutnya sebagai gejala 'depresi ketak-berdayaan' (terj.), Masyarakat awam menyebutnya sebagai takdir atau azab atas keingkaran umat manusia,
"Tuhan maha tahu. Kita sebagai hanya makhluk hina pantas menerima siksaan ini. Dan perhatikanlah. Ada hikmah di balik semua ini. Jangan berpaling dari-Nya. Mereka yang beriman akan memperoleh surga. Olehnya, jangan menghabiskan waktumu mencari obat. Penyakit ini adalah titipan Tuhan sebagai pelajaran bagi umat manusia. Mereka yang menguras otak melawan takdir (wabah) ini akan semakin mendekatkan dirinya pada sikap takabur. Siapa sih kita—berani melawan kodrat?"
Hari ini tanggapan-tanggapan demikian itu mengalami pergeseran. Kerap bencana datang membunuh orang dalam jumlah besar–kecelakaan kerata api, kebakaran besar, bahkan badai–kita cenderung menganggapnya sebagai kegagalan manusia yang dapat dihindari ketimbang sebagai azab Tuhan atau bencana kosmik yang tak terhindarkan. Nalar bekerja. Apabila perusahaan kereta api tidak mengalokasikan anggaran keselamatan penumpangnya, atau jika pemerintah kota telah menerapkan peraturan pencegahan kebakaran secara maksimal, atau andai saja negara menurunkan bantuan lebih cepat, maka orang-orang itu bisa diselamatkan. Di abad 21, kematian yang berskala besar telah menjadi sebuah alasan otomatis untuk untuk penjatuhan tuntutan hukum dan investigasi.
Begitu pula sikap kita memandang wabah. Saat beberapa pemimpin agama dengan cepat merespon AIDS sebagai azab kepada kaum homoseksual, sedangkan masyarakat modern dengan prinsip kemanusiaanya mereduksi anggapan itu pandangan tak beradab, dan kini kebanyakan kita memandang penyebaran AIDS, Ebola dan penyakit menular lainnya sebagai kegagalan terorganisir. Asumsinya kita adalah manusia yang memiliki pengetahuan dan perangkat yang dapat digunakan untuk menghambat bencana tersebut, dan jika suatu penyakit tetap saja tak terkendalikan, itu lebih karena manusia belum menguasainya, ketimbang menganggapnya azab. Covid-19 tak terkecuali mengalami pola ini. Lihat saja, krisis yang kita alami ini masih jauh dari kata selesai, namun permainan saling-lempar-kesalahan sudah dimulai. Negara-negara yang berseberangan saling tuding satu sama lain. Politisi yang berkompetisi saling lempar kata, seolah-olah tanggung jawab itu seperti granat yang sudah terpisah dari kawat picunya.
Di tengah riuhnya perang opini itu, pucuk harapan juga mencuat. Pahlawan kita bukan lagi pendeta yang mengubur jenasah dan menerima wabah ini dengan lapang hati–mereka adalah para tenaga medis yang menyelamatkan nyawa. Dan super-hero kita adalah para ilmuwan yang bekerja di balik dinding laboratorium. Sama persisnya keyakinan para pecinta film bahwa pada akhirnya semua monster takluk oleh Wonder Woman atau Spiderman, dan dunia terselamatkan kembali, kita pun yakin bahwa dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan, mungkin pula setahun kemudian, orang-orang yang berjibaku di laboratorium itu akan menampakkan dirinya dengan membawa berita gembira tentang cara penanganan yang efektif untuk Covid-19 dan bahkan sebuah vaksin. Lalu kita dengan membusungkan dada berkata "ayo virus jahat, jawablah siapa spesies alfa di planet ini?" Kini pertanyaan yang muncul di bibir setiap orang mulai dari Gedung Putih, melewati Wall Street sampai di balkon-balkon apartemen di Italia, "Kapan vaksin itu ada?" Kapan. Jika tidak akan ada.
•••
Ketika vaksin benar-benar ada, dan wabah ini berakhir, oleh-oleh besar apa yang dibawa pulang oleh kemanusiaan? Dari semua kemungkinan yang ada kita pasti akan memilih jalan berinvestasi pada usaha melindungi kehidupan manusia.Kita menyadari lemahnya sistem kesehatan sehingga kita membutuhkan rumah sakit, dokter, dan perawat yang lebih banyak lagi. Kita memproduksi lebih banyak lagi mesin pembantu pernapasan, lebih banyak alat pelindung, dan lebih banyak alat pengetes kesehatan. Kita pasti akan menginvestasi lebih besar uang kita pada jenis-jenis patogen yang belum diketahui dan mengembangkan pola-pola mutakhir. Dengan begitu, di masa depan kita tak mau kembali tersungkur di lumpur yang sama.
Sebagian mungkin berpandangan bahwa tulisan ini adalah pembelajaran yang keliru, dan bahwa krisis ini semestinya mengajarkan kita untuk merendah. Dibandingkan dengan alam seisinya kita ini tak ada apa-apanya, tidak akan sanggup menaklukkan kekuatan alam. Kebanyakan sanggahan macam ini datang dari pewaris abad pertengahan, yang menyampaikan pentingnya kerendahan hati meskipun kesemuanya itu yakin bahwa mereka mengetahui semua jawaban yang benar. Bahkan sebagian fanatik tidak sanggup menahan kemarahannya–seorang pastor yang mengepalai studi Bibel mingguan di kabinet Trump menyatakan wabah ini juga hukuman bagi kaum homo-seksual. Walaupun demikian, banyak pembimbing keagamaan hari ini meletakkan harapannya pada sains ketimbang teks-teks suci.
Saat ini pihak gereja Katolik memerintahkan jemaatnya untuk menjauh dari gereja. Israel menutup sinagog. Pemerintah Iran melarang rakyatnya mengunjungi masjid. Kuil dan aliran-aliran dari beragam kepercayaan menghentikan sementara waktu peribadatan berjamaahnya. Ini semua karena hasil dari kalkulasi dan rekomendasi para ilmuwan untuk mengosongkan tempat-tempat suci ini.
Memang benar, tidak semua mereka yang mengingatkan kejumawaan manusia itu datang dari warisan era pertengahan. Bahkan banyak saintis akan setuju semestinya kita berlaku realistis dalam berekspektasi, dan sebaiknya tidak menyandarkan keyakinan berlebihan pada medis untuk menangani segala bencana kehidupan. Saat manusia sebagai sesuatu yang utuh menjadi semakin perkasa, individu-individu ini masih perlu menghadapi kerentanannya masing-masing.
Mungkin butuh waktu seabad atau lebih, sains akan memanjangkan usia manusia sampai di titik keabadian yang bisa dijangkaunya, sayangnya belum dalam waktu dekat ini. Dengan pengecualian pada anak-anak konglomerat, kita semua yang hidup di masa ini akan menghadapi kematian suatu hari nanti, dan semua dari kita akan kehilangan orang-orang terdekat kita. Di sini setiap kita harus menghadapi sendiri kerentanan masing-masing.
Selama berabad-abad manusia memeluk agama sebagai bentuk mekanisme pertahanan, dengan satu keyakinan bahwa mereka akan dibangkitkan dan abadi di alam sana. Sekarang manusia kadang-kadang menyandarkan diri pada sains sebagai mekanisme pertahanan alternatif, dengan meyakini dokter akan selalu menyelamatkan mereka, dan dengan itu juga mereka akan selamanya hidup tenang di rumahnya yang sederhana. Di sini kita butuh sinergisitas keduanya. Kita seharusnya percaya sains sanggup menangkal bencana epidemi, namun kita juga mesti tetap mempersiapkan segala sesuatunya yang berurusan dengan kematian serta kerentanan diri.
Krisis ini mungkin benar-benar membuat kita akan jerah dengan ketidak-abadian kehidupan manusia dan segala prestasinya di masa lampau. Meski demikian, peradaban modern secara keseluruhan pastinya akan bergerak menukik dari apa yang sebelumnya diimpikan. Karena dibayang-bayangi oleh kerapuhan yang terjadi hari ini, peradaban akan bereaksi membangun pertahanan yang lebih ketat. Saat kegentingan ini berakhir, saya tidak berharap kita akan menyaksikan sebuah peningkatan yang signifikan pada penganggaran di bidang-bidang studi filsafat. Tapi saya yakin kita akan melihat penganggaran yang melimpah ruah di sekolah-sekolah kedokteran dan sisem pelayanan kesehatan.
Bukan tidak mungkin ini langkah terbaik yang bisa secara naluriah kita harapkan. Pemerintah bagaimanapun tidak cakap dalam berfilsafat. Tentu saja itu bukan domain mereka. Ia harus benar-benar fokus pada pembangunan sistem pelayanan kesehatan yang lebih baik. Tergantung pribadi masing-masing apakah ingin mendalami filsafat, atau yang lain. Dokter memang tidak bisa memecahkan teka-teki eksistensi manusia, tetapi setidaknya mereka dapat memberikan kita harapan untuk menyelami alam kebijaksanaan itu lebih lama. Kita habiskan waktu dengan apa, terserah kita.*
Artikel asli berjudul Will Coronavirus Change Our Attitudes to death? Quite the Opposite, ditulis oleh Yuval Noah Harari di media online The Guardian.
Zulkifli M adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar. Ia meraih gelar M.A di Program Studi Magister Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Instagram @Zulkifli_aswhom.
Sumber : https://aksaraintimes.id/selain-menghilangkan-nyawa-apakah-virus-corona-juga-membunuh-hikmah-kematian/
Makassar.Online Kumpulan berita terkini harian Makassar dan Sekitarnya terbaru dan terlengkap dari berbagai sumber terpercaya baik media massa terkemuka di Indonesia maupun akun sosmed yang memiliki integritas dalam menyajikan berita keadaan di Makassar.
Sosmed Kami