Makassar, IDN Times - Protokol kesehatan di masa pandemik COVID-19 seharusnya menjadi sarana bagi pemenuhan dan perlindungan hak atas kesehatan warga. Namun kenyataannya di lapangan, keduanya terkesan bertentangan.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar Haswandy Andy Mas, dalam menyikapi persoalan maraknya masyarakat yang mengalami kriminalisasi akibat dianggap melanggar aturan protokol pencegahan COVID-19.
"Dari sejumlah kasus yang terjadi, termasuk pengaduan yang masuk di LBH Makassar, dapat diidentifikasi persoalan muncul pada layanan kesehatan sejak awal kedatangan pasien di rumah sakit yakni karena adanya prosedur tambahan yang dikenal sebagai, protokol COVID-19," kata Haswandy kepada IDN Times, Jumat (12/6).
Baca Juga: Bertambah, Tersangka Ambil Paksa Jenazah di Makassar Jadi 12 Orang
1. Pemeriksaan sampel swab yang lama berdampak kepada perlakukan pasien, khususnya jenazah
Menurut Haswandy, protokol COVID-19 yang menjadi acuan pada sejumlah fasilitas kesehatan cenderung merugikan pasien. Protokol mengharuskan setiap pasien yang memiliki gejala serupa COVID-19, seperti jantung, gangguan pernafasan, stroke, batuk, demam dan sebagainya, langsung ditetapkan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP).
Kemudian, pasien harus menjalani serangkaian pemeriksaan COVID-19, seperti rapid test atau tes cepat, rontgen thorax atau foto dada, hingga uji swab guna mengetahui apakah pasien negatif atau positif terpapar. Tapi selama menunggu hasilnya keluar, pasien dibiarkan begitu saja.
"Hasilnya bisa berhari-hari, sehingga pasien tidak mendapatkan parawatan medis yang optimal secara cepat sesuai jenis penyakitnya sebelum ada hasil swab tersebut," ungkap Haswandy.
Merujuk fakta-fakta tersebut, kata Haswandy, dapat disinyalir bahwa sejumlah pasien akhirnya meninggal dunia akibat lambannya penanganan kesehatan. Itu seharusnya tidak perlu terjadi jika hasil uji swab dapat lebih cepat dikeluarkan, dan hasilnya diperlihatkan oleh pihak keluarga pasien yang dirawat.
2. Protokol COVID-19 bertentangan dengan UUD 1945?
Andy menilai, masalah selanjutnya yang rancu adalah tindakan protokol COVID-19 terhadap jenazah pasien yang berstatus PDP. Padahal PDP semestinya bukan menjadi penentu negatif atau positifnya pasien.
"Namun anehnya oleh petugas yang berwenang memperlakukannya sebagai jenazah yang sudah pasti positif," katanya.
Akhirnya, jenazah kemudian tidak lagi dapat disemayamkan, dimandikan, disalatkan sesuai dengan syarat dan ajaran agama yang dianut jenazah pada masa hidupnya. Padahal menurut Andy, prosesi pemakaman jenazah adalah bagian dari ibadah ritual yang sakral sebagai manisfestasi dari hak dan kebebasan beragama yang dan dijamin dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945.
"PDP, idealnya diberlakukan sesuai dengan status yang melekat padanya. Tidak dianggap negatif dan juga tidak dianggap positif. Jadi, misalnya rumah sakit, menyediakan sebuah ruangan atau tempat penitipan khusus jenazah PDP disertai protokol tertentu untuk menunggu keluarnya hasil uji swab PCR," ucap Haswandy.
Jika hasilnya negatif, katanya, maka keluarga jenazah berhak untuk menjemput pasien dan dimakamkan secara umum. Sebaliknya, jika hasilnya positif, maka petugas berwenang, melalui tim gugus tugas, yang berhak untuk memakamkan sesuai protokol COVID-19.
3. Alasan masyarakat untuk menolak perlakuan COVID-19 dianggap sudah tepat
Haswandy menyatakan, sejumlah persoalan tersebut seharusnya bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemangku kebijakan. Mulai dari pemerintah, petugas kesehatan, hingga aparat penegak hukum lainnya, tentang bagaimana seharusnya pasien umum dan pasien terkait COVID-19 diperlakukan.
Pada titik ini, warga memiliki alasan kuat untuk menolak prosesi pemakaman jenazah keluarganya yang berstatus PDP namun iperlakukan seolah-olah positif COVID-19 tanpa sebelum hasil tes terbit.
"Di sinilah salah satu dari sekian banyak permasalahan kebijakan maupun tindakan pemerintah mengatasi wabah pandemi COVID-19 ini yang berdampak ketidakpercayaan publik. Sehingga terlalu dini jika pihak kepolisian menetapkan mereka sebagai tersangka sementara belum ada kejelasan status," ucapnya.
4. Penetapan tersangka dianggap tidak memenuhi syarat hukum pidana materil
Diketahui jajaran Kapolisian Daerah Sulawesi Selatan menangkap 31 orang warga terkait kasus ambil paksa jenazah pasien dari rumah sakit di Kota Makassar. Sejauh ini sebanyak 12 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Haswandy beranggapan sikap kepolisian terkesan berlebihan. Apalagi, warga yang ditersangkakan merupakan kerabat hingga keluarga pasien yang hasil swab-nya diterbitkan bekalangan.
"Hasil uji swab jenazah berakibat perbuatan yang disangkakan kepada warga, belum memenuhi syarat untuk dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum pidana materil," ujarnya.
Meski belakangan hasil tes jenazah menunjukkan hasil positif, tidak adil juga jika aparat menjerat mereka dengan dalih pelanggaran hukum. Aparat dianggap melanggar asas proporsionalitas dan asas keseimbangan antara pemenuhan hak warga negara dengan pemenuhan kewajiban pemerintah.
"Jika warga dijadikan tersangka, sementara pihak pemerintah (petugas) telah pula melakukan rangkaian kesalahan akibat perlakuannya terhadap sejumlah jenazah yang telah dimakamkan secara COVID-19 meski hasil ujinya kemudian ternyata negatif. Tetapi mereka sampai saat ini tidak pernah dimintakan pertanggungjawaban hukum."
Baca Juga: Dirugikan Kebijakan Terkait COVID-19? Lapor ke Posko LBH Makassar
Sumber : https://sulsel.idntimes.com/news/sulsel/sahrul-ramadan-1/lbh-makassar-hilangnya-kepercayaan-warga-soal-penanganan-corona
Makassar.Online Kumpulan berita terkini harian Makassar dan Sekitarnya terbaru dan terlengkap dari berbagai sumber terpercaya baik media massa terkemuka di Indonesia maupun akun sosmed yang memiliki integritas dalam menyajikan berita keadaan di Makassar.
Sosmed Kami