Dalam minggu-minggu mendatang, ketika dunia terus memperhitungkan dan merespons pandemi COVID-19, kami akan menampilkan suara-suara dari masa lalu….
Ketika corona mewabah, saya melihat, awalnya setiap orang berencana untuk meninggalkan aktivitasnya. Tetapi, mereka tidak dapat memaksa dirinya untuk keluar dari tempat yang menjadi objek penghasilannya.
Seorang ibu rumah tangga bernama Daeng Bunga, belum pernah bicara atau sekadar mengiyakan rencana melawan wabah. Ketika stasiun utama menuju dapur rumah tangganya terancam, dia menganggapnya sebagai tanda untuk tetap tinggal dan mengikuti nalurinya. Meskipun, iklim kota yang panas dan lembab telah lebih dulu merusak kesehatannya, bahkan sebelum perempuan tersebut mulai mendengar desas-desus tentang wabah penyakit ini.
"Perih, semua orang sepertinya takut wabah corona, dan tidak takut sama Allah SWT," begitulah kira-kira arti kalimat yang diucapkan oleh Daeng Bunga, dalam bahasa Bugis Makassar, ketika ditanya mengapa dia tetap keluar rumah meski jalanan tak lagi ramai.
Sejak memasuki April 2020, saya coba membuat beberapa pengamatan tentang Covid-19 yang menyentuh dunia Daeng Bunga. Ia bukan tidak mengetahui ancaman yang bisa ditimbulkan oleh wabah, namun dia tetap memutuskan untuk keluar rumah dan berada di jalan.
"Se'reji (hanya satu), nak, menyelamatkan keluarga," ujar Daeng Bunga.
Sehari-hari, perempuan tersebut berdagang di dekat lampu merah persimpangan Alauddin-Hertasning. Dia adalah seorang janda yang harus menghidupi dua orang anak berusia di bawah 10 tahun. Sebuah alasan kuat mengapa Daeng Bunga tetap harus berada di jalan meski tahu betul ancaman yang menghantuinya.
"Kalau keluarga saya kelaparan, apa Allah tidak marah sama saya? Saya ini janda, harus hidupi dua anak di bawah sepuluh tahun," tutup Daeng Bunga.
Di media, saya tidak menemukan pembahasan mengenai wabah atau rumor yang menghasilkan angka statistik "hubungan antar manusia". Ini menjelaskan kepergian naluri sunnatullah dan kemanusiaan kita.
Rabu lalu misalnya, orang-orang tidak lagi muncul di warkop dan kantor tempatnya bekerja. Saya menduga, mereka sedang menghadiri sebuah pertemuan yang digelar pemerintah: sebuah sosialisasi agar mereka tetap diam di rumah.
Saya segera beranjak ke tempat pertemuan itu di gelar. Namun, di sudut sebuah ruko, saya mendapati seorang bocah yang membungkuk di depan pintu sambil berdoa. Dengan serius, sambil mengambil posisi berlutut, bergumam, dan kedua tangan mengarah ke atas, ia melafalkan do'anya: "Ya Allah, jika Corona adalah jalan yang Kau pilih sebagai penyebab dari rezekimu, maka segerakanlah. Dan jika Corona adalah wabah yang Engkau pilih untuk menambahkan rezekiku, maka segerakanlah. Ya Rabb, sesungguhnya, hidupku, sehat dan sakitku adalah kuasaMu".
"Aamiin," saya mendahuluinya. Dan dengan manis, bocah itu memalingkan kepalanya menatapku. "Kak doakan, semoga limbah plastik dan sampah ini bernilai keberkahan untuk saya," ujarnya.
Mengembalikan Fungsi Rumah Ibadah
Saat ini, jumlah orang yang sakit dan mati diperkirakan mencapai puluhan, empat puluh, atau bahkan seratus dan lebih. Segera setelah itu, setiap kejadian wabah akan ditolak—atau dikaitkan dengan kasus-kasus terisolasi yang merangkak masuk dari luar.
Akan tetapi, belum ada terdengar peringatan yang tersebar, protes terhadap perilaku berbahaya dan sentimen berlebihan diantara warga. Kepastian dampak ekonomi, politik sosial dan budaya dari wabah ini mungkin belum terdeteksi. Tapi saat ini, masyarakat seperti Daeng Bunga, bocah pemulung, dan bahkan kita semua akan memiliki pertanyaan yang sama: "setelah covid-19 berakhir, apa yang harus dilakukan?"
Kita tidak akan bisa mengelak. Pemerintah seharusnya sudah mememulai sebuah seruan tanpa signifikansi serius. Saya akan mengakui bahwa ada sesuatu yang lebih di belakangnya.
Selama beberapa pekan, Corona virus semakin menunjukkan kecenderungan tinggi untuk menyebar dan bermigrasi. Tidakkah kehidupan dunia sekitar kita dan kita sendiri begitu liar, dan saat ini seolah kita hidup di pulau primitif yang layak dijauhi oleh manusia?
Kasus pemulihan sosial jarang terjadi, sebab wabah itu bergerak dengan kebiadaban, dan sering menunjukkan bentuk yang paling berbahaya yang disebut "pengeringan". Air dari pembuluh darah dikumpulkan di saku, dan darah tidak mampu membawanya. Dalam beberapa jam korban dihancurkan, beritanyaa menjadi setebal dan seganas serangannya, dan itu tertahan di tengah kram dan erangan batok kepala.
Beruntung bagi Daeng Bunga dan bocah pemulung itu, sebab serangan itu baginya berupa gangguan ringan. Mereka memilih lebih takut pada penurunan kesejahteraan secara umum.
Saya jadi berpikir, bagaimana jika rumah ibadah kembali dihidupkan sebagai cahaya penuntun perabadaban? Masjid-masjid dibuka dan difungsikan sebagai pusat data covid-19, dijadikan posko pengendalian dan pusat distribusi sumber utama kebutuhan dasar warga. Bukankah, rumah ibadah jauh lebih akurat dan presisi informasi jamaahnya? Lalu mengapa pemerintah tidak mempertimbangan hal tersebut sebagai langkah jelas dan membawa lebih banyak manfaat?
Saya menyarankan demoralisasi kelas sosial, mendorong impuls teduh dan sosioreligiutas yang memanifestasikan diri mereka dalam lisensi, ketakwaan, dan gelombang kepedulian yang meningkat. bahwa pada saat sekarang ini, gerombolan penyeru kearifan sosial yang berdaya religi, mampu membuat jalan-jalan menjadi aman dari wabah.
Saya mengajak setiap orang untuk mengucapkan keputusan akhir tentang fakta-fakta ini. Bahwa kita akan melakukannya dengan baik. Kita bisa menghidupkan kembali rumah ibadah sebagai pusat kendali penanggulangan dan pencegahan wabah Covid. Dan saya mengakhiri tulisan ini dengan meninggalkan harapan.
Penulis: Syamsul Bahri Majjaga
Sumber : https://aksaraintimes.id/merangkul-kegembiraan-azab-di-tengah-wabah-covid-19/
Makassar.Online Kumpulan berita terkini harian Makassar dan Sekitarnya terbaru dan terlengkap dari berbagai sumber terpercaya baik media massa terkemuka di Indonesia maupun akun sosmed yang memiliki integritas dalam menyajikan berita keadaan di Makassar.
Sosmed Kami