Oleh: Yuval Noah Harari
(Penulis buku: Sapiens, Homo Deus dan 21 Lessons for the 21st Century)
BADAI INI AKAN berlalu. Namun, pilihan yang kita buat sekarang dapat mengubah kehidupan kita untuk tahun-tahun ke depan. Saat ini umat manusia sedang dihadapkan oleh krisis global. Mungkin inilah krisis terdahsyat dialami generasi kita. Keputusan yang akan diambil beberapa pekan ke depan, baik kita dan pemerintah, kemungkinan akan menentukan bagaimana wajah dunia beberapa tahun ke depan. Keputusan itu tidak hanya menentukan bentuk atau sistem kesehatan saja, tapi juga tentang bagaimana wajah ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Kita mesti bertindak cepat dan seyakin mungkin – dan tetap harus menimbang konsekuensi jangka panjang dari tindakan itu. Ketika kita mengambil langkah alternatif, keputusannya tidak semata-mata hanya mengatasi ancaman langsung, tetapi juga menimbang kehidupan setelah badai terlewati.
Ya, badai akan berakhir, manusia akan survive, kebanyakan dari kita masih tetap hidup – tetapi kita akan hidup di sebuah dunia yang berbeda.
Dalam masa darurat, kebijakan jangka pendek menjadi kelengkapan hidup. Ini hal biasa dalam masa darurat. Keputusan-keputusan yang diambil akan mempercepat proses sejarah. Dalam situasi normal keputusan seperti itu akan memakan waktu bertahun-tahun agar dapat dijalankan, tetapi di masa darurat dapat berlangsung dalam sejam. Keputusan di masa darurat memang selalu tidak matang. Bahkan teknologi berbahaya sekalipun terpaksa didayagunakan, sebab berdiam dan tidak melakukan apa-apa resikonya lebih besar.
Seluruh negara mau tidak mau melakukan uji coba dalam skala besar. Apa yang terjadi ketika semua orang bekerja dari rumah dan hanya berkomunikasi dalam sebuah jarak? Apa yang terjadi jika semua sekolah dan universitas melangsungkan aktivitas online? Dalam kondisi normal, pemerintah, perusahaan, dan dunia pendidikan tidak akan pernah mau melakukan hal-hal yang sifatnya uji coba. Tapi, ini darurat, bukan kondisi normal. Dalam masa krisis, kita diperhadapkan oleh dua pilihan penting. Pertama, pengawasan secara totaliter (totalitarian surveillance) dan keterlibatan atau pemberdayaan masyarakat (citizen empowerment). Kedua, karantina nasional dan solidaritas global.
Under-the-skin surveillance
Untuk menghentikan wabah, masyarakat perlu mengikuti pedoman tertentu (dari pemerintah). Cara pertama, pemerintah mengawasi warga, dan menghukum siapa pun yang melanggar. Hari ini, untuk kali pertama dalam sejarah, kapan dan di mana pun teknologi sangat mungkin memonitor setiap orang. Lima belas tahun lalu, Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) tidak dapat mengamati 240 juta warga Soviet dalam 24 jam sehari. KGB secara efektif tidak bisa diharapkan mampu mengumpulkan semua informasi. KGB hanya bergantung pada analisis dari para agen (manusia), dan tidak bisa menempatkan semua agen untuk mengikuti dan mengamati semua aktivitas warga. Tetapi sekarang, pemerintah dapat menggunakan alat pendeteksi (sensor) di mana-mana, serta menggunakan kekuatan algoritma.
Dalam memerangi wabah virus corona, beberapa negara telah menggunakan alat pengawasan tersebut. Penggunaan mutakhir telah dilakukan di China. Pengawasan secara cermat dilakukan melalui smartphone dengan memproduksi ratusan juta kamera untuk mengidentifikasi wajah (face-recognising) setiap orang, dan mewajibkan setiap orang mengecek dan melaporkan suhu tubuh untuk mengetahui kondisi medis mereka. Hal tersebut membuat otoritas China tidak hanya secara cepat mengidentifikasi warga yang suspected, tetapi juga dengan segera dapat melakukan pelacakan terhadap mereka yang melakukan kontak.
Di samping itu, juga terdapat applikasi di hape warga yang bisa memperingatkan mereka tentang kedekatannya dengan pasien yang terinfeksi. Teknologi semacam ini tidaklah terbatas di Asia Timur. Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, baru-baru ini memberi wewenang kepada Israel Security Agency untuk menggunakan teknologi pengawasan yang biasanya diperuntukkan memerangi teroris, lalu dipakai untuk melacak pasien virus corona. Ketika subkomite di parlemen menolak untuk mengesahkan tindakan itu, Netanyahu menindaklanjutinya dengan "keputusan darurat".
Hal di atas dapat saja menuai perdebatan bahwa tidak ada sesuatu yang baru dari semua ini. Beberapa tahun terakhir, baik pemerintah dan korporasi telah menggunakan teknologi mutakhir untuk melakukan manipulasi, tracking, dan mengawasi masyarakat. Namun, jika kita tidak hati-hati, alasan penyebaran wabah dapat menjadi titik tolak dari sejarah pengawasan itu sendiri. Sejauh ini banyak negara yang menolak. Bukan hanya karena penyebaran alat pengawasan dilakukan secara massal – karena dianggap normal dalam masa darurat – tetapi hal itu menandai transisi dramatis dari pengawasan yang mulanya hanya pada permukaan kulit saja ("over the skin") kemudian melesat lebih dalam ("under the skin").
Sampai sekarang pun, ketika jari-jari menyentuh layar hape pintar kita, dan mengelik salah satu link, pemerintah ingin tahu apa yang sebenarnya telah kita klik. Namun, dengan virus corona, otomatis keinginan itu berubah. Sekarang, pemerintah ingin tahu suhu tubuh lewat jari-jari dan tekanan darah dari bawah kulit.
The Emergency Pudding
Masalah utama yang dihadapi dalam pemberlakuan pengawasan, tidak satu pun yang tahu bagaimana kita diawasi, dan bagaimana dampaknya di masa mendatang. Teknologi pengawasan berkembang begitu cepat. Semacam fiksi ilmiah 10 tahun lalu, itu akan tampak usang di masa sekarang. Sebagai gagasan yang diujicobakan, pemerintah meminta kepada setiap warga untuk memakai gelang biometrik untuk memonitoring suhu tubuh dan tekanan jantung selama 24 jam perhari. Dari sana, data yang dihasikan kemudian disimpan dan dianalisis oleh algoritma yang dimiliki pemerintah. Algoritma itu akan mengetahui bahwa kita sedang sakit – bahkan alat ini mendahului kita mengetahui bahwa sedang sakit, dari mana saja dan ketemu siapa saja. Rantai infeksi dapat secara drastis dibatasi, bahkan dipotong secara bersamaan. Sistem ini dapat dibilang mampu menghentikan laju wabah dengan mengetahui jejaknya dalam sehari. Terdengar menggembirakan, bukan?
Sisi buruknya, tentu saja hal ini akan melegitimasi sistem pengawasan baru yang lebih dahsyat. Misalnya, jika Anda tahu bahwa saya [lebih sering] mengelik link Fox News daripada link CNN, itu dapat memberitahukan tentang pandangan politik saya dan barangkali bahkan kepribadian saya. Namun, jika kita dapat memonitor, layaknya menonton video klip, apa yang terjadi pada suhu tubuh, tekanan darah dan jantung saya; kita dapat mempelajari apa yang bisa membuat saya tertawa, membuat saya menangis, dan yang membuat saya benar-benar marah.
Hal ini krusial mengingat bahwa marah, senang, bosan, dan cinta adalah fenomena biologis; sama dengan demam dan batuk. Teknologi yang sama itu dapat mengidentikasi batuk, juga pada tawa. Jika korporasi dan pemerintah mulai memanen data biometris kita secara massal, mereka lebih dalam mengetahui diri kita ketimbang kita sendiri. Mereka tidak hanya mampu melakukan prediksi perasaan kita tetapi juga dapat memanipulasi perasaan kita sehingga mereka dapat menjual apa saja yang ke kita – baik itu produk atau [wajah] politikus sekalipun [saat pemilu]. Taktik pemantauan biometrik akan membuat peretasan data analitis Cambridge terlihat seperti sesuatu dari Zaman Batu. Bayangkan Korea Utara di tahun 2030, ketika setiap warga selama 24 jam perhari telah memakai gelang biometris. Jika kita mendengar Great Leader berbicara dan gelang tersebut memberi sinyal bahwa kita marah, maka [hidupmu] akan selesai.
Tentu saja, kebijakan mengenai pengawasan melalui biometris, secara temporer bisa ditempuh selama masa darurat. Dan dapat ditiadakan setelah masa darurat berakhir. Namun, hal terburuk dari ukuran temporer selalu lebih lama, khususnya munculnya horizon kedaruratan baru yang mengintai. Sebagai contoh, di negara saya, Israel, mendeklarasikan negara dalam keadaan darurat selama perang kemerdekaan di tahun 1948, yang membenarkan serangkaian tindakan temporer, mulai dari penyensoran pers dan penyitaan tanah hingga peraturan khusus untuk membuat lapisan-lapisannya (saya tidak membohongimu). Perjuangan kemerdekaan telah lama dimenangkan, tetapi Israel tidak menyatakan keadaan darurat berakhir. Dan sejak tahun 1948, telah gagal menghapuskan banyak tindakan "temporer". (dan lapis-lapis dekrit tentang keadaan darurat baru dihapus di tahun 2011).
Bahkan ketika infeksi virus corona telah terselesaikan, beberapa negara (pemerintah) yang haus data dapat berdalih bahwa mereka perlu menyimpan sistem pemantauan biometris itu di sebuah tempat karena mereka takut "kalau-kalau" gelombang virus corona berikutnya datang lagi, atau karena ada virus Ebola baru sedang berkembang di Afrika Tengah, atau karena…alasan lainnya. Pertempuran besar telah terjadi beberapa tahun terakhir, demi hak dan ruang privasi kita. Krisis virus corona dapat membalikkan semua itu. Ketika masyarakat diberikan pilihan antara privasi dan kesehatan, mereka akan selalu memilih kesehatan.
The Soap Police
Akar masalah paling mendasar adalah ketika masyarakat diminta memilih antara privasi dan kesehatan [fakta ini menyesatkan]. Ini adalah pilihan yang keliru. Kita bisa dan harusnya memiliki privasi dan jaminan kesehatan. Kita bisa memilih melindungi kesehatan dan menghentikan wabah virus corona tanpa harus melalui rezim pengawasan totaliter. Kita bisa melakukannya secara swadaya atau empowering citizens.
Dalam beberapa minggu terakhir, beberapa upaya paling sukses untuk mengatasi wabah virus corona telah dilakukan oleh Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Negara-negara ini, untuk sementara, telah menggunakan beberapa aplikasi pelacakan, pengujian yang lebih ekstensif, pelaporan yang jujur, dan atas kerjasama sukarela dari masyarakat yang memiliki pengetahuan mumpuni.
Pemantauan yang terpusat dan hukuman keras bukanlah cara untuk membuat masyarakat mematuhi manfaat dari pedoman yang telah diberikan. Ketika orang-orang diberitahu fakta-fakta ilmiah, dan ketika mereka percaya kepada otoritas publik yang menyampaikan fakta-fakta itu, warga negara dapat melakukan hal baik tanpa "Big Brother" memantau mereka dari belakang. Masyarakat yang mendapat wawasan dari informasi yang terpercaya, dengan sendirinya termotivasi mengambil langkah mandiri. Dan, hal itu jauh lebih powerful dan efektif daripada melakukan penertiban atau menganggap masyarakat tidak tahu apa-apa.
Taruhlah, sebagai contoh, mencuci tangan dengan sabun. Hal ini telah menjadi kemajuan luar biasa dari pola hidup bersih manusia. Tindakan sederhana ini telah menyelamatkan jutaan kehidupan setiap tahun. Sementera kebiasaan mencuci tangan, kita terima begitu saja, padahal itu baru ditemukan oleh ilmuwan di abad 19. Sebelumnya, dokter dan perawat sekalipun tetap melanjutkan operasi bedah ke operasi berikutnya tanpa mencuci tangan.
Hari ini milyaran orang setiap saat mencuci tangan mereka, bukan karena mereka takut pada kebijakan penggunaan sabun, tetapi lebih dari itu karena mereka memahami sebuah fakta. Saya mencuci tangan dengan sabun karena saya telah mendengar tentang virus-virus dan bakteri. Saya paham bahwa organisme-organisme kecil itu menyebabkan penyakit, dan saya tahu bahwa sabun dapat membunuhnya.
Namun, untuk mencapai tingkat kerelaan dan kerjasama, kita perlu percaya. Masyarakat perlu mempercayai sains, otoritas publik dan media. Selama beberapa tahun terakhir, para politisi tidak bertanggungjawab untuk hal itu, sehingga menyebabkan rusaknya kepercayaan pada sains, media dan otoritas publik. Sama halnya di masa sekarang, hilangnya tanggung jawab itu kemungkinan [pemerintah] lebih tergoda mengambil jalan otoritarianisme, dengan dalih bahwa masyarakat tidak bisa melakukan hal yang benar.
Secara normal, terkikisnya kepercayaan selama bertahun-tahun tidak dapat dibangun ulang dalam semalam. Ini bukanlah waktu yang normal. Di masa-masa krisis, pikiran dapat berubah begitu cepat. Kita bisa saja pernah bertengkar hebat dengan keluarga sekian tahun lalu, tetapi ketika masa darurat terjadi, kita bisa secara tiba-tiba menemukan telaga terdalam dari kepercayaan dan persahabatan yang tersembunyi, dan saat itu kita akan dengan cepat menolong orang lain.
Alih-alih membangun rezim pengawasan, saat ini belum terlambat untuk membangun ulang kepercayaan masyarakat pada sains, otoritas publik dan media. Pastinya, kita juga harus mendayagunakan teknologi mutakhir, di mana teknologi tersebut mesti memberdayakan masyarakat. Saya mendukung pemantauan suhu badan dan tekanan darah saya, tetapi data-data tersebut tidak digunakan untuk menciptakan sebuah pemerintahan yang powerful. Data-data itu cukuplah untuk informasi dan memungkinkan saya membuat pilihan pribadi, dan juga bisa dipakai untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas kebijakan yang telah diputuskannya.
Jika saya dapat melacak kondisi medis saya 24 jam sehari, saya tidak hanya akan belajar apakah kondisi kesehatan saya berbahaya bagi orang lain, tetapi juga mengetahui kontribusi habit pada kesehatan saya. Dan jika saya dapat akses dan analisa statistik yang terpercaya terhadap penyebaran virus corona, saya akan dapat menilai apakah pemerintah menyampaikan kebenaran ke saya dan apakah telah mengambil kebijakan yang benar dalam memerangi wabah. Kapan pun orang berbicara tentang pengawasan, ingat bahwa teknologi pengawasan tidak hanya dapat dipakai oleh pemerintah untuk mengawasi individu – tetapi sebaliknya individu juga dapat memonitor pemerintah.
Dengan demikian wabah virus corona merupakan ujian utama [kita semua] kewarganegaraan. Di hari-hari mendatang, kita masing-masing harus memilih untuk mempercayai data ilmiah dan para pakar kesehatan daripada teori konspirasi yang tidak berdasar serta politisi yang mementingkan diri sendiri. Jika kita gagal membuat pilihan yang tepat, kita mungkin akan melepaskan kebebasan yang paling berharga dari diri kita. Pikirkanlah bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga kesehatan kita.
We need a global plan
Pilihan kedua yang sedang kita hadapi adalah karantina wilayah dan solidaritas global. Dampak wabah yang disertai krisis ekonomi, adalah masalah global. Keduanya hanya bisa diatasi secara efektif oleh kerjasama global.
Pertama dan paling utama, supaya dapat mengalahkan virus, kita butuh berbagi informasi secara global. China dan Amerika memang tidak dapat bertukar mengenai cara virus tersebut menginfeksi manusia. Tetapi, Cina dapat memberi pelajaran berharga kepada Amerika tentang virus corona dan bagaimana menghadapinya. Apa yang ditemukan oleh dokter di Milan menjelang pagi tadi, misalnya, malamnya mungkin bisa menyelamatkan kehidupan di Tehran. Ketika pemerintah Inggris ragu mengambil kebijakan, mereka dapat meminta nasehat dari Korsel yang menghadapi dilema sebulan yang lalu. Namun, semua ini membutuhkan kepercayaan, semangat dan kerjasama global.
Setiap negara mesti memiliki keinginan berbagi informasi secara terbuka dan lapang dada menerima nasehat serta mempercayai data dan pengetahuan yang mereka terima. Kita juga memerlukan upaya global untuk memproduksi dan mendistribusikan peralatan medis, yang paling penting testing kits dan mesin pernapasan. Daripada melakukan semuanya secara lokal dan menimbun semua peralatan yang bisa ditemukan, upaya kordinasi global dapat dengan segera mempercepat produksi dan memastikan peralatan yang menyelematkan jiwa terdistribusikan dengan adil.
Sama seperti nasionalisasi industri utama selama perang, perang manusia melawan virus corona mengharuskan kita untuk "memanusiakan" jalur produksi. Negara kaya dengan sedikit kasus virus corona harus bersedia mengirim peralatan berharga mereka ke negara miskin yang kasus [infeksinya melonjak]; [saling] percaya bahwa jika dan ketika [satu sama lain] membutuhkan bantuan, negara-negara lain akan datang membantu.
Kita mungkin mempertimbangkan upaya global untuk mengumpulkan tenaga medis. Negara-negara yang saat ini kurang terkena dampak dapat mengirim staf medis ke negara yang paling parah di dunia, baik untuk membantu mereka di saat mereka membutuhkan – sekaligus mendapatkan pengalaman berharga dari apa yang dihadapi. Jika nanti fokus wabah berubah, bantuan bisa mulai mengalir ke arah yang berlawanan.
Kerjasama global juga sangat dibutuhkan di bidang ekonomi. Mengingat sifat dan rantai pasokan dari ekonomi global, jika masing-masing pemerintah saling mengabaikan dan melakukan langkah sendiri-sendiri, hasilnya, krisis akan makin runyam. Kita membutuhkan rencana dan tindakan global, dan kita membutuhkannya dengan cepat.
Persyaratan lain adalah mencapai kesepakatan global tentang perjalanan. Menangguhkan semua perjalanan internasional selama berbulan-bulan akan menyebabkan kesulitan yang luar biasa, dan menghambat perang melawan virus corona. Setiap negara perlu bekerja sama untuk memungkinkan setidaknya sedikit pelancong (penting) untuk terus melintasi perbatasan: ilmuwan, dokter, jurnalis, politisi, pengusaha. Ini dapat dilakukan dengan mencapai kesepakatan global tentang pra-screening wisatawan oleh negara asal mereka. Jika kita tahu bahwa hanya pelancong yang di-screening dengan hati-hati diizinkan di pesawat, kita akan lebih bersedia menerimanya masuk ke negara kita.
Sayangnya, pada saat ini negara hampir tidak melakukan hal-hal ini. Kelumpuhan kolektif telah mencengkeram komunitas internasional. Sepertinya tidak ada orang dewasa di ruangan itu. Sudah berminggu-minggu, kita [menunggu] dan berharap dapat meilhat terjadinya pertemuan darurat dari para pemimpin global untuk datang dengan rencana aksi bersama. Pekan lalu, para pemimpin G7 berhasil mengatur konferensi video, hanya saja tidak menghasilkan rencana seperti itu.
Dalam krisis global sebelumnya – seperti krisis keuangan 2008 dan wabah Ebola 2014 – AS mengambil peran sebagai pemimpin global. Tetapi pemerintah AS saat ini telah menurunkan jabatan kepemimpinannya. AS telah memperjelas dirinya bahwa hanya peduli dengan negaranya sendiri, ketimbang masa depan umat manusia.
AS telah mengabaikan masalah administrasi, bahkan telah meninggalkan sekutu terdekatnya. Ketika mengeluarkan kebijakan melarang semua perjalanan dari Uni Eropa, AS tidak perlu repot-repot memberikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada UE. Apalagi berkonsultasi dengan UE tentang tindakan drastis itu. [pengabaian administrasi] juga melahirkan skandal dengan perusahaan farmasi Jerman, dengan tuduhan menawarkan 1 Milyar US Dollar untuk membeli hak monopoli terhadap vaksin Covid-19 yang baru.
Jika saat ini AS akhirnya mengubah taktik dan muncul dengan rencana tindakan global, sedikit yang akan mengikuti pemimpin yang tidak pernah bertanggung jawab; yang tidak pernah mengakui kesalahan, dan yang secara rutin mengambil semua pujian untuk dirinya sendiri sambil menyerahkan semua kesalahan pada orang lain. Jika kekosongan yang ditinggalkan oleh AS tidak diisi oleh negara lain, bukan hanya akan lebih sulit untuk menghentikan wabah saat ini, tetapi warisannya akan terus meracuni hubungan internasional selama tahun-tahun yang akan datang. Namun setiap krisis juga merupakan peluang. Kita harus berharap bahwa wabah saat ini akan membantu umat manusia menyadari bahaya akut yang ditimbulkan oleh perpecahan global.
Umat manusia perlu membuat pilihan. Apakah kita akan menempuh jalan perpecahan, atau akankah kita memakai jalan solidaritas global? Jika kita memilih perpecahan, ini tidak hanya akan memperpanjang krisis, tetapi mungkin akan menghasilkan bencana terburuk di masa depan. Jika kita memilih solidaritas global, itu akan menjadi kemenangan tidak hanya terhadap virus corona, tetapi terhadap semua wabah dan krisis di masa depan yang mungkin menyerang umat manusia di abad ke-21.
Diterjemahkan secara "darurat" oleh Tim AksaraInTimes dari FinancialTimes: Yuval Noah Harari: the world after coronavirus. https://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75
Sumber : https://aksaraintimes.id/wajah-dunia-setelah-virus-corona/
Makassar.Online Kumpulan berita terkini harian Makassar dan Sekitarnya terbaru dan terlengkap dari berbagai sumber terpercaya baik media massa terkemuka di Indonesia maupun akun sosmed yang memiliki integritas dalam menyajikan berita keadaan di Makassar.
Sosmed Kami