Penetapan Kawasan Hutan Sulsel: Sepihak dan Semena mena Klaim Kebun Petani


Petani tradisional kerap dicap sebagai perusak dan perambah hutan. Di Soppeng, seorang kakek dikriminalkan karena menebang pohon di kebunnya sendiri.

Aksaraintimes.id – Siang itu, Natu bin Takka (75) merasa kaget, sebanyak 30-an petugas gabungan (polisi dan polisi kehutanan) mendatangi rumahnya di Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan (Sulsel). Natu ingin ditangkap oleh petugas. Sebabnya, ia dituding telah menebang pohon tanpa izin dalam kawasan hutan. Natu bingung, ia merasa tidak bersalah.

Cerita ini bermula sekitar seminggu lalu di akhir Februari 2020. Natu menebang pohon jati di kebun miliknya tak jauh dari rumah yang hanya berjarak sekitar 100 meter. Niatnya, ia ingin menggunakan hasil pohon itu untuk membangun rumah sang anak.

Ia merasa tak ada yang salah saat menebang pohon jati itu. Selain karena memang ada di kebunnya, pohon jati itu juga ditanam oleh bapaknya sendiri sedari puluhan tahun silam. Menurutnya, hal wajar jika ia berhak menggunakan hasil pohon tersebut, itupun kata Natu, digunakan untuk keperluan membangun rumah, bukan untuk diperjual belikan.

"Itukan bapak saya yang tanam, itu sudah ada empat puluh tahun, ada juga bambu sama pohon kelapa, bapak yang tanam," ucap Natu saat dihubungi, Minggu (8/3/2020).

Kebun itu adalah warisan dari orangtuanya. Kata Natu, mulai dari kakek, orang tua, hingga ia sendiri telah menggarap lahan seluas 28 are itu selama puluhan tahun. Selain tanaman jangka panjang, ia juga kerap menanam tanaman seperti jagung dan cabai. Lahan itu, menurutnya cukup membantu penghidupannya sebagai petani. Namun ia tak menyangka, apa yang dilakukannya malah membuatnya berurusan dengan polisi.

Ia bercerita, saat petugas mendatanginya, petugas menyampaikan bahwa Natu telah menebang pohon dalam kawasan hutan. Petugas pun dengan segera memasang garis polisi. Kata Natu, petugas juga sudah siap untuk mengangkut pohon-pohon itu karena mereka datang dengan dua mobil truk.

"Petugas bilang 'tebang sembarangan'. Ya saya tidak tahu (kalau kawasan hutan. red), saya pikir kan tidak termasuk karena kebunnya bapak, baru daerah perkampungan juga, masa ada kawasan hutan di kampung sini," ucapnya.

Sepengetahuan Natu, jika tanah garapan sudah diwariskan turun temurun, maka tanah itu menjadi hak milik penggarap. Selain klaim itu, Natu juga taat membayar Pajak Bumi Bangunan sejak tahun 1997. Karena alasan itu, ia tak terima jika ia disebut oleh petugas telah merusak hutan. Baginya lahan itu adalah kebun miliknya.

Meski begitu, di mata petugas, Natu tetap dianggap merusak hutan. Ia pun akan dibawa saat itu juga. Namun Natu menolak, ia tak ingin dibawa pergi begitu saja tanpa ada keterangan yang jelas.

Selang beberapa hari setelahnya, pada 2 Maret 2020, Natu memenuhi panggilan dari pihak Polres Watansoppeng. Ia dimintai keterangan sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana penebangan pohon dalam kawasan hutan. Pemeriksaan itu sebagaimana berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor: 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (UU P3H).

Petani Rawan Dikriminalisasi

Kasus Natu bukanlah yang pertama, pada tahun 2017 lalu, tiga petani dari kampung Cappoliang, Dusun Waisuru, Desa Umpengeng, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng juga mengalami nasib serupa. Ketiganya ditangkap di kebun masing-masing dengan sangkaan pasal yang sama.

Setelah kasus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Watansoppeng, hakim memutus ketiganya tidak bersalah dan bebas. Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa ketiganya tak bisa dijerat dengan UU P3H, karena merupakan petani tradisional yang sudah turun-temurun mengelola kebun dan memanfaatkan hasilnya untuk keperluan sehari-hari.

Penuntut umum kembali mengajukan kasasi dan pada Februari 2019. Tetap saja Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang isinya menguatkan putusan PN Watansoppeng. Ketiga petani itu dinyatakan tidak bersalah.

Meski sudah ada kasus sebelumnya, Polres Watansoppeng tetap memanggil Natu untuk dimintai keterangan. Kasat Reskrim Polres Watansoppeng, Amri, mengatakan pihaknya masih terus menyelidiki perkara tersebut. Namun hingga saat ini, katanya, belum ada pihak yang menjadi tersangka.

"Proses ini kan praduga tak bersalah, sudah dalam proses penyidikan tetapi penyidikan itu kan masih ada kewajiban kita untuk menentukan siapa yang bersalah," ucapnya saat dihubungi, Selasa (10/3/2020).

Terkait kasus serupa tiga petani sebelumnya, Amri tak bisa berkomentar banyak. Ia katanya mesti mengetahui lebih dalam terkait kasus itu, namun akunya ia akan tetap mempertimbangkan kasus sebelumnya dalam penyidikan kasus Natu.

"Makanya saya mau tau juga, kok dianggap tidak bersalah. Seperti apa kronologinya, seperti apa buktinya. Nanti kami juga menjadikan bahan kenapa sampai diputus tidak bersalah, itu juga jadi bahan buat kita," ucapnya.

Edy Kurniawan, Koordinator Bidang Hak atas Lingkungan Hidup Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar juga selaku kuasa hukum Natu mengatakan, tindakan yang dilakukan Polres Watansoppeng terhadap Natu adalah sebagai bentuk kriminalisasi. Sebabnya, Natu yang notabenenya sebagai petani tradisional telah lama memanfaatkan hasil kebun itu untuk kebutuhan sehari-hari.

Sehingga, kata Edy, pasal yang disangkakan pihak kepolisian yakni pasal 82 ayat (1) huruf b dan pasal 12 huruf b dan/atau pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor: 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (UU P3H), tak semestinya dikenakan kepada Natu selaku petani yang menggantungkan hidup dari sumber daya hutan.

Edy menjelaskan, UU P3H sejatinya dibuat untuk menjerat pelaku pembalakan liar ataupun korporasi untuk kepentingan komersil. Namun dalam prakteknya, UU P3H ini justru kerap digunakan untuk menjerat petani tradisional yang tinggal di dalam ataupun sekitar kawasan hutan.

Ia mengatakan, dengan bertambahnya kasus seperti yang menjerat Natu, semakin menguatkan bahwa UU P3H mengandung ketidakpastian hukum.

"Rumusan pasal-pasal pidana dalam UU P3H bersifat diskriminasi, tidak cermat, tidak jelas, multitafsir dan bertentangan satu dengan yang lain. Sehingga dengan mudah disalahgunakan oleh penegak hukum," ucapnya saat dihubungi, Selasa (10/3/2020).

Kata Edy, upaya kriminalisasi terhadap Natu adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Yaitu; hak atas milik pribadi (vide Pasal 28H UUD 1945), hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (vide Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945), hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya (vide Pasal 28A UUD 1945), dan hak untuk mengembangkan diri dan keluarga (vide Pasal 28C UUD 1945).

Klaim Sepihak dan Semena-mena

Pada tahun 2016, Kementrian Kehutanan menetapkan kawasan hutan dan perairan Sulsel seluas 2.725.796 Ha. Penetapan ini sebagaimana tertuang dalam SK.434/Menhut-II/2009. Kemudian di tahun 2019 kembali dilakukan sejumlah penetapan yakni perubahan bukan kawasan menjadi kawasan hutan, perubahan fungsi, dan perubahan peruntukkan menjadi areal penggunaan lain (APL). Luas kawasan hutan kian bertambah.

Dengan adanya penetapan ini, hutan Sulsel akhirnya mendapat jaminan kepastian hukum. Meski begitu, penunjukan kawasan hutan ini rupanya menyisakan sejumlah masalah besar.

Ketua Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sulsel, Rizki Anggriani Arimbi, mengatakan penunjukan kawasan hutan dan perairan di Sulsel dilakukan secara sepihak dan semena-mena. Dengan cara seperti itu, banyak kebun petani justru masuk dalam kawasan hutan. Imbasnya petani sering kali dicap sebagai perambah dan perusak hutan.

Ia menjelaskan, saat ini sebanyak 1.080 desa dari 3.030 desa yang ada di Sulsel masuk dalam kawasan hutan yang ditetapkan pemerintah. Hal ini, kata Rizki, membuktikan bahwa penunjukan kawasan hutan yang dilakukan pemerintah tak dilakukan dengan seksama.

"Pemasangan patok batas hutan yang sesuka hati pemerintah. Banyak warga yang diminta membantu memasang patok tapi mereka tidak diberikan informasi soal rencana penetapan kawasan hutan," ucapnya saat dihubungi, Selasa (10/3/2020).

Namun bagi Rizki, praktek seperti ini bukanlah hal yang baru. Pada medio 1970-an, hal sama juga dilakukan pemerintah di masa Soeharto yakni saat program reboisasi. Dalam program itu, warga diberi bibit untuk menanam pohon jangka panjang. Namun saat pohon-pohon ini mulai besar, tiba-tiba saja petugas datang dan menyatakan kampung-kampung mereka sebagai kawasan hutan.

"Jadi proses penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah berlangsung secara manipulatif, semena-mena bahkan penuh dengan intimidasi serta kriminalisasi," ucapnya.

Imbasnya, kata Rizki, warga semakin terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan memilih untuk tetap mengerjakan ladang-ladang mereka. Namun sayangnya mereka malah dituduh sebagai perambah dan perusak hutan.

"Klaim sepihak dan semena-mena pemerintah telah menyebabkan warga terusir dan tergusur keluar dari tanah-tanah leluhur kampung kampung mereka," ujarnya.

Penulis: Amri N. Haruna
Editor: Dian Kartika



Sumber : https://aksaraintimes.id/penetapan-kawasan-hutan-sulsel-sepihak-dan-semena-mena-klaim-kebun-petani-1/

Makassar.Online Kumpulan berita terkini harian Makassar dan Sekitarnya terbaru dan terlengkap dari berbagai sumber terpercaya baik media massa terkemuka di Indonesia maupun akun sosmed yang memiliki integritas dalam menyajikan berita keadaan di Makassar.