Menanti Perlawanan Omnibus Law Meledak di Makassar


Belajar dari gerakan Reformasi Dikorupsi, konsolidasi yang lebih matang diharap saat penolakan Omnibus Law.

Aksaraintimes.id – Isu terkait Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus Law alias RUU Sapu Jagat menghiasi berbagai macam pendiskusian publik. Kantong-kantong forum ilmiah diberbagai daerah telah membicarakan ini. Ada yang menolak dan ada pula yang bersepakat dengan masing-masing pembenaran.

Bagi yang menolak, tentu telah menyepakati langkah taktis hingga strategis perihal apa yang harus dilakukan. Penolakan terhadap RUU Omnibus Law ini juga bermunculan di Kota Makassar. Sebagai Kota yang diklaim secara geopolitik memiliki pengaruh yang kuat di Indonesia bagian timur ini juga telah terlihat berbagai konsoloidasi hingga aksi bertahap dari kelompok terpelajar, NGO, hingga organisasi masa rakyat.

Diketahui, naskah  RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (versi pemerintah) telah masuk ke DPR RI sejak 3 Februari 2020 lalu. Naskah RUU Cilaka ini memuat 174 pasal yang dirangkum dalam 15 Bab. Tercatat, ada 79 Undang Undang yang akan dirombak dan dimasukkan ke dalam RUU Omnibus Law.

Dilansir dari liputan6.com, Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut, pihaknya menargetkan penyelesaian hingga penetapan RUU Omnibus Law paling lama 100 hari kerja sejak draf RUU itu diterima DPR RI pada awal Februari lalu. RUU ini diklaim legislatif dan eksekutif sebagai kebijakan yang seolah-olah pro terhadap rakyat.

Melihat Gerakan Penolakan Omnibus Law di Makassar dari Kacamata Reformasi Dikorupsi

Meski telah lama mencuat, gerakan penolakan Omnibus Law di Makassar bisa dklaim masih sangat melempem jika dibandingkan dengan gerakan Reformasi Dikorupsi. Pada September 2019 lalu, gerakan ini menolak sejumlah RUU yang pengesahannya digenjot oleh DPR RI periode 2014-2019 lalu seperti Revisi UU KPK, RKUHP, dan RUU Ketanahan, dan tuntutan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Tidak hanya tingkat nasional, gerakan Reformasi Dikorupsi merebak di mana-mana, tidak terkecuali di Kota Makassar. Tercatat, puncak gejolak besar perlawanan Reformasi Dikorupsi di Kota Makassar terjadi di 3 hari yakni 24, 27, hingga 30 September 2019. Meski telah ada riak-riak gerakan demontsrasi di hari hari sebelumnya, namun di 3 hari di atas menjadi yang paling dicatat.

Sebab, selain menelan korban karena kekerasan aparat, juga aksi 3 hari di atas juga berlangsung dengan durasi waktu cukup lama. Akibatnya, sejumlah arus lalu lintas strategis di Kota Makassar lumpuh total. Target minimal dari setiap rangkaian aksi mereka yakni menduduki gedung DPRD Sulawesi Selatan. Alhasil gedung legislator itu dilingkari kawat tajam dalam beberapa hari.

Lalu mengapa gerakan penolakan Omnibus Law di Makassar, bahkan nasional cenderung melempem jika dibandingkan dengan Reformasi Dikorupsi? 

Koordinator Komite Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Makassar Altriara Pramana Putra berpendapat, gerakan penolakan RUU Omnibus Law masih didominasi oleh sektor buruh, NGO, dan kominatas-komunitas mahasiswa pemuda berbasis kaderisasi. Peran kampus belum terlalu menonjol untuk merespon kehadiran Omnibus Law, khususnya di Kota Makassar.

"Ada beberapa faktor, pertama faktor penyebar luasan isu belum terlalu masif di setiap kampus sehingga penyatuan gerakan belum terkonsolidasi secara matang. Faktor berikutnya fragmentasi isu yang mungkin saja bisa menutupi perkembangan pembahasan Omnibus Law dan minat publik untuk merespon," papar Altriana kepada aksaraintimes.id, Sabtu (29/2/2020).

"Bisa kita lihat akhir-akhir ini muncul berbagai macam problem yang sangat sensitif terkait isu sara, misalnya statmen Ketua BPIP agama musuh Pancasila, terbunuhnya warga Polman di Papua, ada juga konflik Muslim dan Hindu di India jika tidak ditangani dengan baik, akan ada yang selalu menunggangi isu untuk kepentingan kelompok bahkan bisa mangakibatkan konflik horisontal," sambung Altriana.

RUU Omnibus Law kata Alriana, pada dasarnya adalah tidak lanjut dari beberapa RUU yang sempat ditolak pada bulan September 2019 lalu. RUU Omnibus Law, kata Altriana, semakin memperparah basis material kehidupan rakyat ke depannya.

"Kita perlu berkaca pada gerakan Reformasi Dikorupsi yang di mana dengan basis massa yang begitu banyak namun tidak ada satupun yang berhasil menyampaikan tuntutannya ke pejabat publik. Ini menandakan kuantias dalam gerakan bukan menjadi hal yang utama, melainkan konsolidasi yang harus betul-betul matang di setiap sektoral dalam hal ini penyatuan gerakan, kemudian strategi dan taktik agar massa tidak terprovokasi dan paling penting tuntutan bisa sampai ke pejabat publik untuk ditindak lanjuti," papar Altriana.

Mengapa Harus Menolak Omnibus Law Cilaka

Advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar Adi Anugrah mencatat, terdapat beberapa pasal yang sangat kontra produktif. Pasal-pasal itu dinilai akan sangat merugikan banyak pihak, khususnya bagi buruh meski diklaim RUU itu sebagai solusi menekan angka pengangguran di Indonesia. yang paling parah kata Cappa, sapaanya, RUU itu dibuat cenderung terburu-buru yang berpotensi sangat tidak substantif dan sangat tertutup.

"Saya kira secara formil proses pembentukan Rancangan Undang Undang Cipta Lapangan Kerja terlalu terburu-buru dan berlangsung sangat tertutup bagi publik. Berbagai kesalahan dalam draft rancangan yang secara substansi sangat penting dengan enteng dijawab pemerintah salah ketik," ungkap Alumni Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) itu kepada aksaraintimes.id.

Misalnya kata Cappa, pasal 170 dalam RUU Omnibus Law yang isinya berbunyi, pemerintah pusat bisa merubah Undang Undang melalui peraturan pemerintah. Secara hirarki disebutkan Cappa, itu dibenarkan, karena undang undang itu lebih tinggi dari peraturan pemerintah.

"Masa peraturan lebih rendah bisa mengoreksi atau mengubah aturan yang lebih tinggi. Jika itu benar-benar terjadi, itu otoritarianisme yang nyata. Secara materil, ada banyak pasal yang justru akan merugikan masyarakat seperti petani, buruh dan lain-lain," tutur salah satu pendiri Titem Review Book Makassar itu.

Lebih lanjut kata Cappa, sebut saja, dalam dunia ketenagakerjaan, RUU ini akan membuat pemutusan hubungan kerja semakin mudah dilakukan oleh pengusaha. Selain itu, secara tidak langsung kebijakan ini melegalkan pembayaran upah di bawah standar minimum upah. Belum lagi soal status kerja tanpa batas waktu yang bisa membuat pekerja tidak bisa mendapatkan hak mereka sebagai pekerja karena status yang tak tetap. Jelas ini hanya akan menguntungkan pengusaha dan merugikan pekerja.

"Dalam soal lingkungan, penghapusan izin lingkungan dan kelonggaran amdal, akan membuat praktek kerusakan lingkungan semakin masif. Tak boleh investasi mengorbankan kelestarian lingkungan. Belum lagi soal sanksi pidana lingkungan yang ingin dihapus atau dibuat menjadi sulit dilakukan untuk menjerat korporasi perusak lingkungan. Tentu, ini hanya akan menguntungkan pengusaha dan akan merugikan masyarakat," imbuh Cappa.

"Saya kira proses pembahasan RUU harus diintervensi oleh publik, terlebih membuka partisipasi masyarakat menjadi hal yang harus dilakukan pembuat Undang Undang. Semoga pembuat Undang Undang mau mendengar masukan dan  melaksanakan betul masukan tersebut. Jika itu tidak dilakukan, penolakannya bisa dilakukan dengan cara cara yang lebih keras, termasuk memobilisasi seluruh pihak yang dirugikan dari RUU ini," tutup Cappa.

Penulis: Gunawan Songki

Editor: Amri N. Haruna



Sumber : https://aksaraintimes.id/menanti-perlawanan-omnibus-law-meledak-di-makassar/

Makassar.Online Kumpulan berita terkini harian Makassar dan Sekitarnya terbaru dan terlengkap dari berbagai sumber terpercaya baik media massa terkemuka di Indonesia maupun akun sosmed yang memiliki integritas dalam menyajikan berita keadaan di Makassar.