Virus corona memang menakutkan, namun bagi sebagian orang tagihan cicilan lebih menyeramkan.
AksaraINTimes.id – Pada 2 Maret 2020 lalu, Jokowi mengumumkan dua warga positif terjangkit virus COVID-19 atau corona. Hanya dalam rentang sekitar dua minggu kemudian, jumlah pasien naik tajam. Tercatat, per 17 Maret 2020 sudah ada 172 pasien yang terjangkit virus, tujuh diantaranya meninggal dunia.
Ketakutan melanda. Pemerintah kemudian membuat sejumlah kebijakan untuk membatasi penyebaran virus: mengimbau pegawai untuk bekerja di rumah, membatasi keramaian, hingga meliburkan sekolah. Masyarakat pun ramai-ramai membeli masker hingga ada sejumlah pihak memborong bahan pokok. Indonesia darurat corona.
Namun bagaimana dengan kaum miskin kota? Apa mereka turut merasakan kekhawatiran itu? Apa mereka turut mendapat perhatian dari pemerintah? Reporter AksaraINTimes.id lantas menjumpai mereka untuk meminta pendapat atas merebaknya virus tersebut.
Firdaus, pekerja juru parkir, mengatakan tak ambil pusing dengan adanya pandemi virus corona. Dengan kelakar ia mengatakan "tak ada (saya) takut, takut hanya dengan Maha Kuasa," ucapnya saat ditemui di Jalan Boulevard, Makassar, Senin (16/3/2020).
Bukan tanpa alasan Firdaus berucap demikian, baginya cicilan rumah tangga lebih menakutkan ketimbang virus corona.
Ia mengaku hanya sedikit tahu informasi soal virus corona dari media sosial. Katanya, ia memang tak ingin tahu banyak dengan kabar yang beredar. Pasalnya, informasi itu kurang penting menurutnya ketimbang kebutuhan hidup.
AksaraINTimes.id juga menanyakan soal imbauan pemerintah untuk bekerja di rumah. Firdaus menanggapinya dengan tertawa pelan, ia melirik ke arah teman sejawat yang duduk di dekatnya. Baginya itu adalah imbauan yang tidak masuk akal. Ia mengatakan, jika ia tak masuk kerja, dari mana ia bisa mendapatkan uang.
"Di mana ki mau ambil uang, di mana (dari mana. Red) ki bayar cicilan. Andaikan pegawai bisa tinggal, adaji tabungan, ada gaji bulanan," ucapnya sembari mengangguk kepada temannya.
Teman sejawat sesama juru parkir yang diangguki Firdaus adalah Dg Naba. Saat Jurnalis AksaraINTimes.id wawancara dengan Firdaus, Dg. Naba memang hanya terlihat menyimak. Rupanya setelah kami menanyakan hal serupa, Dg. Naba sama sekali tak tahu soal adanya virus tersebut. "Tidak tahu, tidak tahu saya begituan," ucap Dg. Naba.
Ia tak pernah mendengar bahwa masyarakat sekarang tengah dilanda kepanikan akan virus corona. Dg. Naba bahkan bertanya kembali mengenai wabah virus tersebut. Setelah kami menanyakan lebih jauh alasan tak tahunya, katanya ia memang tak memiliki televisi ataupun sarana informasi lain.
Hal sama juga dilontarkan Situju, pemulung yang ditemui di depan mini market, Jalan Topaz Raya, Panakukkang. Ia mengaku tak pernah mendengar soal virus tersebut. Sama dengan Dg. Naba, Situju juga tak punya media elektronik untuk mengakses informasi.
Sementara bagi Nurdin, satu-satunya informasi soal corona ia peroleh dari radio miliknya. Nurdin yang bekerja sebagai tukang becak motor (bentor) ini pun tak tahu banyak seberapa berbahayanya virus tersebut. Ia tak mengetahui soal jumlah kematian apalagi tindak pencegahan dari virus ini.
Jangan Ceramah Soal Pola Hidup Sehat
Berbeda dengan sebelumnya, Hasma merasa harap-harap cemas dengan makin merebaknya virus corona. Hasma yang bekerja sebagai pedagang kaki lima ini terus memantau pemberitaan terkait corona melalui televisi.
Ia merasa takut jika virus corona nantinya juga akan tersebar hingga di Sulawesi Selatan. Ia mengkhawatirkan keluarganya akan turut terjangkit.
Karena kekhawatiran itu, Hasma pun sudah sedikit paham bagaimana tindakan pencegahan penyebaran virus corona. Salah satu cara yang ia ketahui adalah dengan rajin mencuci tangan. Hal ini akunya sudah ia ajarkan kepada anak-anaknya.
Namun soal imbauan cegah corona dengan pola hidup sehat, Hasma merasa sedikit bingung. Bukan bingung karena tak tahu menahu soal pola hidup tersebut, hanya saja faktor keuangan yang menjadi kendala.
Katanya, sebenarnya ia pun merasa takut untuk terus-terusan berjualan dengan kondisi darurat corona saat ini. Tapi jika ia tak berjualan, ia tak akan mendapat pemasukan. Dengan jumlah barang dagangan yang sedikit, uang yang bawa pulang tiap harinya pun juga minim.
"Bagaimana mauki makan daging, kalau ikan saja susah, makan daging ikan sebisa-bisanya uang. Sayur-sayuran bisaji kan murahji," ucap Hasma saat ditemui di gerobak dagangannya, Jalan Topaz Raya, Senin (16/3/2020).
Ia mengatakan, jika memang ke depannya pemerintah akan serius melarang warganya untuk beraktivitas di keramaian, Hasma mengaku akan menurut. Tapi ia mengharapkan, pemerintah juga memerhatikan rakyat kecil seperti dirinya yang setiap harinya mesti mencari uang di luar rumah.
"Kita ikut, tapi bagaimana cari makan kita ini kodong, rejeki-rejeki beginiji," ucapnya.
Miskin tak Mampu Berbuat Banyak
Sosiolog dari Universitas Hasanuddin, Dr. Muh Ramli AT, mengatakan pandemi seperti corona pada dasarnya tak memandang status ekonomi, semua orang dapat terjangkit. Hanya saja, jika sudah merebak seperti sekarang ini, kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan justru yang paling merasakan dampaknya.
"Bagi kelompok miskin, khususnya di perkotaan, belum ada pandemi saja beban hidupnya sudah berat. Maka ketika menghadapi situasi seperti sekarang, tentu akan semakin berat," ucap Ramli saat dihubungi, Rabu (18/3/2020).
Ia mengatakan, dengan pendapatan yang minim, beban mereka akan bertambah berat jika mesti mengelurkan biaya tambahan untuk mengakses fasilitas. Jika seperti itu, tentunya kelompok ini makin sulit menghadapi corona. Untuk itu, kata Ramli, layanan kesehatan pandemi seperti ini semestinya gratis dan harus dijaga ketersediaannya oleh pemerintah.
Karena desakan itu pula, soal imbauan pemerintah untuk kerja di rumah tentunya tak dapat mereka lakukan. Sebabnya tiap hari mereka mesti mencari uang karena tak memiliki tabungan untuk menyambung hidup. Bahkan, kata Ramli, berhenti bekerja bagi mereka sama menakutkannya menghadapi ancaman virus corona.
"Misalnya tidak cukup punya tabungan untuk menyambung hidup saat tidak bekerja. Ini tentu membutuhkan kerja keras tersendiri jika mereka misalnya mau diajak mempraktekkan imbauan social distancing," jelasnya.
Lebih jauh dikatakan, tak semua masyarakat memiliki akses akan informasi. Hal ini berdampak pada pemahaman masyarakat akan mewabahnya virus ini, bagaimana cara pencegahan hingga bagaimana mereka mesti bertindak mencegah penyebaran virus.
"Tingkat kemiskinan berkait dengan kemampuan memahami dan memilah informasi, tingkat kesadaran, termasuk di dalamnya akses mereka ke informasi," ucapnya.
Ia pun menyarankan untuk memaksimalkan fasilitas yang ada untuk menyebar informasi tentang corona, termasuk memaksimalkan tempat ibadah. Katanya, tempat ibadah dapat menjangkau banyak orang, dan bagi masyarakat yang tak memiliki fasilitas mengakses informasi dapat terbantu dengan ini.
Meski dengan masalah demikian, kata Ramli, bukan berarti kelompok kelas menengah ke atas bebas dari permasalahan ini. Misalnya saja jika layanan kesehatan sudah penuh dan tak tersedia. Tentu, mereka pun kena imbasnya. Untuk itu, ia mengatakan, semua orang mesti berpartisipasi melawan corona.
"Kuncinya, semua pihak tanpa memandang kelompok sosialnya harus memiliki kesadaran untuk berpartisipasi melawan perkembangan COVID-19," tutup Ramli.
Penulis: Amri N. Haruna
Editor: Dian Kartika
Sumber : https://aksaraintimes.id/cerita-kaum-miskin-kota-atas-pandemi-corona/
Makassar.Online Kumpulan berita terkini harian Makassar dan Sekitarnya terbaru dan terlengkap dari berbagai sumber terpercaya baik media massa terkemuka di Indonesia maupun akun sosmed yang memiliki integritas dalam menyajikan berita keadaan di Makassar.
Sosmed Kami