Bingkai Peradaban Dalam Politik



Oleh: M Ridha Rasyid (Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan)

MAKASSAR, GOSULSEL.COM – Syahdan, Negara yang paling sangat menghargai dan mengedepankan peradaban dalam berpolitik adalah Amerika Serikat. Dengan sejarah panjang selama lebih dari dua abad, Negara ini membangun suatu sistem politik yang mengedepankan etika politik. Karena dengan etika, menurut mereka, kelak akan membentuk peradaban baru dalam berpolitik.

Mengapa Amerika Serikat begitu dahsyatnya membentuk suatu tata etika yang membingkai perjalanan politik ? Jawabannya, dapat dilihat dari sisi, pertama, terlebih dahulu membenahi hukum mereka. Itu terlihat dari konstitusi dan deklarasi bangsanya, kedua, ekonomi yang mapan, walaupun sejatinya, suatu negara tidak serta merta menjadi kaya, tetapi Amerika Serikat merupakan perkecualian.

Selain penduduk asli mereka suku Indian, benua Amerika menjadi tujuan utama bangsa Eropa dalam berekspansi ekonomi, yang sudah terlebih dahulu maju. Amerika Serikat dan negara negara di benua ini, memiliki lahan yang subur, sehingga menarik minat bangsa Eropa, terutama Inggris, untuk mengembangkan lahan tu.

Amerika Serikat di era tahun 70an hingga 90an, merupakan negara terkuat ekonominya. Sedikit mengalami perlambatan memasuki akhir 90an hingga sekarang. Di mana negara-negara Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, terkhusus China muncul sebagai kekuatan baru ekonomi dunia, ketiga, pendidikan yang merata dengan kualitas munpuni telah mendorong kesadaran masyarakatnya dan negara untuk melibatkan partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan. Apa yang dijelaskan di atas, kemudian Ini merupakan pilar demokrasi.

Selain tentu saja partai politik yang lebih sederhana. Dalam pandangan politik modern, partai merupakan wadah, sarana sekaligus media bagi rang orang untuk mengorganisir diri dan gagasan menuju suatu tampuk kekuasaan. Artinya kekuasaan itu tidak serta merta diperoleh, namun melalui kaderisasi dan konsistensi memperjuangan idealisme partainya.

Pula, bagi setiap warga negara diberikan kebebasan mengekspresikan diri memilih partai mana dia berkiprah. Kekuatan demokrasi Amerika terletak pada kemampuan mereka mengelola diri bersama partainya agar pesan politik itu tersampaikan kepada konstituennya. Menariknya, di sana, tidak ada “kutu loncat” apalagi “tikus” pengerat dan menggerogoti dari dalam.

Suatu tradisi pula yang menjadi ciri negara berkembang dan negara miskin. Betapa tidak, fenomena kekuasaan di negara berkembang dan miskin, kekuasaan itu jadi sarana korupsi oleh para elit politisi dan politikus. Sehingga hampir bisa dipastikan tidak ada peradaban baru yang bisa dijadikan patokan untuk memajukan negara itu.

Bagi Amerika Serikat , politik, ekonomi dan sumber daya manusia berkualitas merupakan suatu keniscayaan kemajuan dalam berbagai aspek. Pada saat yang sama, politik dan demokrasi itu adalah kebutuhan dalam memenej negara.

Bagaimana Negara Kita?

Indonesia di awal kemerdekaan, terutama pada pemilu tahun 1955, di mana itu adalah pesta demokrasi yag bersejarah bagi negara negara di Asia, India baru di era 60an memulai uji coba demokrasi. Pada pemilu tersebut dengan multi partai, cikal bakal membangun demokrasi. Tetapi hanya terjadi sekali itu.

Pemilu-pemilu berikut nya, hingga memasuki era reformasi, tidak lebih hanya sebuah “lakon” sandiwara dari rezim penguasa. Perubahan sistem terjadi secara spontan pada 1998, melalui pemilu 1999 yang mendapat pengakuan dunia, sebagai pemilu paling demokratis. Namun, setelah itu, wajah pesta politik rakyat indonesia ini menjadi pengejawantahan reinkarnasi orde baru.

Perspektif kekuasaanlah yang membedakan dengan sebelumnya. Di mana pergantian pemimpin telah melahirkan gaya khas masing masing. Tetapi, substansi pelaksanaan demokrasi cenderung sama, bahkan lebih “beringas”. Kesan itu, sebagaimana penilaian dari banyak pengamat dunia, menyoroti demokrasi ala Indonesia. Apapun itu, negeri ini terus membenahi diri untuk suatu pembaharuan yang berproses. Maka, kata pengamat pula, generasi mendatang, bisa lebih matang menyikapi dinamika zamannya kelak.

Pilwali Makassar 2020

Tentu, judul tulisan di atas, sejatinya ingin mengulas pemilihan Walikota Makassar, dengan merangkai kebangunan sejarah yang terurai di atas, agar kita punya pemahaman, bahwa ini ada contoh dan pengalaman, sehingga fakta saat ini bukanlah terjadi serta-merta. Kota Makassar yang luasnya 175, 77km2 (kilometer persegi) relatif kecil dibanding kota dan kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan, hanya Parepare yang berada di bawahnya, siklus politik nya sangatlah canggih.

Bukan hanya sebagai ibukota propinsi, sesungguhnya Kota Makassar memiliki sejarah panjang kalau ditelisik dari perspektif politik. Negara Indonesia Timur, berkedudukan utama di Makassar pada era 50an. Kota Makassar, jauh sebelumnya, adalah kota jasa dan pelabuhan yang telah mengantarkan kejayaan dan keharuman namanya di seantero dunia.

Meski, sempat berubah nama pada 1971-1999 dengan nama Ujung Pandang. Kota Makassar yang dihuni berbagai suku bangsa di Indonesia, boleh di kata menjadi miniatur Indonesia. Dengan suku Makassar, Bugis, Toraja yang merupakan panorama keragaman dan kemajemukan yang saling menyatu.

Politik tingkat tinggi, kata sebagian orang, Makassar barometer Sulawesi Selatan. Selain penduduknya yang paling banyak, juga tingkat pendidikan warganya relatif paling maju, serta kemampuan ekonomi tertinggi. Karenanya, Kota Makassar memiliki tingkat peradaban politik yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia.

Kita bisa lihat bagaimana Kota Makassar sebagai satu satunya kota yang di menangkan oleh kotak kosong pada Pilwalkot 2018 lalu. Menunjukkan betapa pilihan politik warga tidak mudah digiring untuk memilih pemimpin yang sudah didepan mata, dengan segala kelebihan yang dipunyai sang kandidat, toh “keok” melawan kotak kosong.

Artinya, pelajaran berharga dari hasil tersebut, sejatinya menjadi pelajaran bagi bakal calon, bahwa warga Kota Makassar, bukanlah warga bisa terbuai berbagai intrik politik. Warga kota Makassar sangat menghargai etika dan moralitas dari politisi.

Juga, siapapun yang akan tampil untuk bertarung merebut kursi kekuasaan. Ciri orang Makassar tidak mudah tunduk pada rayuan materi ataupun bagi “kue” kekuasaan ketika hal itu tidak menguntungkan rakyat. Sama halnya, ketidak-percayaan warga Makassar pada seseorang yang terlalu banyak janji, dan tatkala udah merasakan empunya kekuasaan, lupa akan ikrar yang pernah diucapkannya.

Cukup sekali mereka di-“apusi”. Mereka sudah kapok dengan pemimpin seperti itu. Pada tempatnyalah Kota Makassar menjatuhkan pilihan pada figur yang punya adab akan kearifan lokal. Budaya Makassar yang menjadi bingkai terbentuknya peradaban dalam berpolitik.

Wallahu ‘alam bisshawab.(*)




Sumber : Gosulsel

Makassar.Online Kami Mengumpulkan serta Menyajikan berita dari sumber terpercaya baik media massa terkemuka di Indonesia maupun akun sosmed yang memiliki integritas dalam menyajikan berita keadaan di Makassar.