MAKASSAR, GOSULSEL.COM – Empat anak muda punya pengalaman menyedihkan saat masih berstatus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar, Sulawesi Selatan. Kehabisan uang saat salah satu rekannya dirawat di rumah sakit karena tipes akut yang diderita, menjadi awal kisah mereka harus diam-diam kabur dari salah satu rumah sakit ternama di Makassar.
Mereka adalah Andi Dedy Arfandi (27 tahun), Muhammad Nur AR (27 tahun), Eno Sukarno (29 tahun) dan Wariz (26 tahun). Mereka merupakan sahabat yang terhimpun dalam organisasi Kaisar Study Club yang digagas oleh sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum di kampusnya. Mereka tinggal bersama di sekretariat Kaisar SC.
Saat ini mereka sudah lulus, dua diantaranya jadi pengusaha dan dua pula jadi pengacara. Kejadiannya memang sudah berlalu, sekitar 6 tahun lalu. Namun kepedihan dan kisah mengharukan dari empat mahasiswa di ratauan masih membekas di ingatan. Setidaknya itu yang tergambar dari cerita yang disampaikan Nur AR dan Eno Sukarno kepada GOSULSEL.COM, Senin (30/12/2019).
Bermula saat Nur, Eno dan Waris menerima kabar tentang rekannya Dedy Arfandy yang menderita tipes akut dan harus segara dilarikan ke rumah sakit. Mereka bertiga menerima kabar itu di kampus sore hari, Nur sudah lupa hari dan tanggal pasti kejadian itu, yang pasti saat itu bulan Juli 2013.
Cuaca makin mendung sore itu, saat lagit sudah tamaram, Nur, Eno dan Waris memutuskan untuk menemui Dedy di Sekretariat Kaisar SC, Jalan Faizal, Makassar. Setiba di sana, dia menemui Dedy terbaring dan membungkus dirinya dengan selimut serta beberapa lembar sarung.
Mereka tak ingin berpikir panjang. Tak ada alasan Dedy harus segera dibawah ke rumah sakit. Dengan menggunakan sepeda motor merk Vega R dikendarai Nur. Mereka berboncengan tiga, Wariz diposisi belakang memapah Dedy ditengah, sementara Eno menggunakan sepeda motor lain.
“Saat itu malam hari, habis salat magrib. Untungnya hujan turun setelah kami sampai di rumah sakit. Begitu sampai di rumah sakit, kami langsung masuk instalasi gawat darurat. Jadi hanya kami berempat, termasuk Dedy yang saat itu sakit,” kenang Nur.
Dedy langsung ditangani oleh sejumlah perawat. Sementara Nur, Eno dan Waris keluar masuk ruang perawatan, secara bergantian menemani Dedy. Karena tidak memiliki kartu anggota asuransi kesehatan apapun, akhirnya Dedy diterima sebagai pasien umum di rumah sakit, tentu dengab biaya yang mahal.
Selang tiga jam, seorang perawat memberikan kertas ke Nur. Isinya adalah resep dokter yang harus ditebus di apotek rumah sakit. Nominalnya tidak sedikit, seingat Nur kurang lebih Rp400 ribu. Saat itulah Nur mulai berpikir, ia mengajak ketiga rekannya untuk patungan.
“Saya tanya teman satu-satu, dan kenapa hari itu kami berempat kena sial. Tidak ada satu orang pun yang punya uang. Benar-benar habis, satu sen sekalipun tidak ada,” kata Nur.
Akhirnya ia tak melangkahkan kaki ke apotek. Nur lebih memilih mengajak Eno dan Wariz berdiskusi jalan keluar. Mereka berusaha mengabari beberap rekannya.
“Kami mau telpon senior-senior tidak ada pulsa. Mau hubungi orang tuanya Dedy juga tidak mungkin. Karena saat itu Dedy ngotot untuk tidak memberitahu orang tuanya dengan alasan takut panik, terbebani pikirannya dan lain-lain sebagainya,” ujar Nur.
Akhirnya mereka berempat meminta kepada perawat agar Dedy tidak dirawat inap. Dia akan segera pulang dengan alasan tidak ada yang mampu membayar biaya rumah sakit. Mereka beralasan untuk Rp400 ribu akan segera ditebus di apotek.
Lama berdiskusi alot dengan perawat, akhirnya Dedy dibiarkan pulang. Namun selembar kertas yang dikantongi Nur harus ditebus.
“Tapi memang jalannya sudah buntu. Tidak ada jalan lain, Dedy harus kami bawa kabur dari rumah sakit tanpa menebus biaya perawatan dan obat dari apotek,” kata Nur.
Saat itu sekitar pukul 22:00 waktu indonesia tengah, Makassar diguyur hujan dengan intensitas sedang. Saat berjalan dari ruang perawatan menuju apotek, Nur dan Eno berbelok menuju parkiran motor. Mereka masing-masing mengambil motor dan membawa keluar dari area rumah sakit.
Saat berada di depan gerbang, secara diam-diam Dedy dan Wariz menyusul. Hal itu telah mereka rencanakan. Salah satu jalan agar bisa kabur dari rumah sakit. Dengan diguyur hujan, Dedy dan Waris naik ke motor yang dikendarai Nur menuju Sekretariat Kaisarh SC, sementara Eno mengendarai motornya sendiri.
“Saat itu kami berpikir, nanti ada uang baru kita datang kembali tebus biaya perawatan Dedy karena tidak ada jalan lain harus kabur agar tidak semakin banyak pembayaran. Kan sudah ada juga datanya kalau kita kembali tebus,” kata Nur.
Sesampai di Sekretariat, mereka merawat Dedy seadanya, diminta istirahat. Karena salah satu rekomendasi perawat, Dedy tidak boleh lelah dan tidak boleh lapar, apalagi begadang.
Jual Kompor dan Tabung LPG Karena Lapar
Sekitar pukul 24:00 mereka berempat tiba-tiba lapar, namun tak ada uang dan tak ada makanan yang bisa turun diperut. Setelah mengutak atik dapur, Eno hanya menemukan air mineral dalam galong.
“Akhirnya hanya itu yang kita minum lalu tidur. Kami sama-sama pergi minum air mineral lalu memutuskan tidur. Daripada lapar, mending tidur. Urusan besok itu lain hal,” ungkapnya.
Keesokan harinya mereka terbangun di pagi hari dengan kondisi badan yang cukup segar. Namun urusan perut, tak berubah masih tetap lapar yang tak tertahankan. Untungnya Nur menemuka selembar uang pecahan Rp5 ribu dalam lemari. Dinatara susunan pakaian, entah itu uang siapa.
Sekitar pukul 09:00 uang itu digunakan membeli mie instan isi dua sebanyak dua buah. Mie itu rencana menjadi santapan sarapan untuk empat orang. Nur memerintahkan Eno memasak mie itu di dapur. Namun sialnya, kompor beserta tabung LPG 3 Kilogram hilang.
Eno, Nur dan Waris geram lantaran sehari sebelumnya alat masak itu masih ada di dapur. Mereka sempat ngomel menduga ada pencuri yang baru saja masuk ke dalam rumah. Kerena lapar tak tertahankan, Eno memutuskan untuk merebus mie instan itu menggunakan rice coocer.
“Waktu kami bertiga menunggu mie matang, tiba-tiba si Dedy ini muncul di depan pintu. Entah dari mana dia dengan senyum-senyum saat kami beri tahu bahwa kompor dan tabung gas hilang,” ungkap Nur.
“Sstttt, jangan kasi tau ke siapa-siapa yah. Cukup kita berempat yang tahu. Saya sudah jual kompor dan tabung, ini uangnya untuk kita makan sama-sama,” ujar Nur menirukan ungkapan Dedy kala itu.
Nur mengaku saat itu jengkel bercampur lucu, sedih dan haru melihat rekanya Dedy yang meski sakit rela bepergian menjual barang dapur untuk bertahan hidup.
“Bagaimana yah ini si Dedy, jengkel tapi terharu juga. Ia melakukan berbagai macam cara karena teman-temanya yang lapar,” ungkapnya.
Dedy lalu mengelurkan beberapa lembar uang dari sakunya. Uang itu digunakan membeli makanan seadanya. Tak hanya untuk sarapan, sisa uang disimpan untuk jatah makan malam dan keesokan harinya.
Eno yang turut berbincang dengan GOSULSEL.COM menceritakan saat dimana dirinya merasakan getir kehidupan itu. Bagi dia itu adalah pengalaman yang sangat berharga dan menjadi jejak kehidupan yang akan menjadi motivasi.
“Ada rasa sedih bercampur lucu jika mengenang masa-masa itu. Lapar pun harus ditahan dan kabur dari rumah sakit saat hujan,” kata Eno.
Eno berkisah, setelah menjual kompor beserta tabung, senior mereka yang berkunjung ke Sekretariat, Suriadi sempat marah karena mengira Nur dan kawan-kawan lalai hingga rumah dibobol pencuri.
“Kak Suryadi saat itu baru saja tiba di sekret. Dia memang marah-marah tapi juga terlihat sedih karena mengetahui kami adik-adiknya kelaparan dan harus merebus mie instan menggunakan rice coocer,” ungkap Eno.
Saat kedatangan seniornya itulah, dia sudah merasa aman untuk beberapa hari ke depan. Tidak perlu lagi takut lapar dan kehabisan uang pembeli bensin untuk ke kampus.
“Kak Suryadi saat itu kan selalu makan bareng. Alhamdulillah ada jatah makan untuk kami pera juniornya. Inu juga menjadi pengalaman bagi diri saya pribadi,” kata Eno mengakhiri cerita.(*)
Sumber : Gosulsel
Makassar.Online Kami Mengumpulkan serta Menyajikan berita dari sumber terpercaya baik media massa terkemuka di Indonesia maupun akun sosmed yang memiliki integritas dalam menyajikan berita keadaan di Makassar.
Sosmed Kami